. Generasi Seni Reog Ponorogo: 2010
Photobucket
LESTARIKAN BUDAYA LELUHUR
Photobucket

Minggu, 21 Februari 2010

WAROK


Tradisi Masyarakat Ponorogo memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan masyarakat lain di Jawa. Literatur Jawa mengenal istilah Warok Ponorogo, namun Icon Warok itu sendiri sampai sekarang masih belum bisa didefinisikan secara tegas. Beberapa dugaan misalnya, kata warok disinonimkan dengan kata weruk (Jawa) yang berarti besar sekali, nampak berbeda dengan pengertian wara’ dalam literatur sufi yang berarti menjauhkan diri dari segala sesuatu yang di dalamnya mengandung syubhat. Kenyataannya, Warok bukan hanya seorang yang berperawakan besar dan gagah perkasa, tapi ia figur ksatria yang berbudi pekerti luhur, memegang norma sosial secara ketat, dan memiliki kelas yang tinggi di kalangan masyarakat Ponorogo. Kehidupan Warok tidak dapat dipisahkan dari kesenian reyog, sebab ia pimpinannya. Ia sangat tinggi kedudukannya, berwibawa, dan dapat mempengaruhi konco reyog baik segi tingkah laku sosial maupun spiritualnya.





Profil Warok PonorogoMasyarakat Ponorogo tidak berbeda dengan masyarakat di kota lain. Lebih-lebih dengan pesatnya perkembangan kebudayaan serta semakin mudahnya perhubungan antar daerah, maka sudah barang tentu orang sukar untuk membedakan mana penduduk Ponorogo dan mana yang bukan.

Kalau orang mengenal Warok Ponorogo, sebenarnya ia sudah mulai mengenal sebagian ciri khas daerah. Identitas Warok biasanya hanya dikenal pada pakaiannya yang serba hitam saja. Pakaian ini adalah pakaian asli daerah Ponorogo. Sedangkan pengertian Warok itu sendiri sampai sekarang masih belum dikenal dengan pasti. Dalam pengertian sehari-hari, kata warok sinonim dengan kata weruk yang berarti besar sekali, misalnya weduse wis weruk, artinya kambingnya sudah besar sekali, endi warokane?, artinya manakah yang paling besar, paling kuat, dan paling berani?

Bila memperhatikan contoh di atas, maka kata warok atau weruk berarti yang paling besar. Hal ini tampak dalam kalimat endi warokane? Jadi yang paling besarlah yang mendapat sebutan Warok. Kalau ada sekelompok anak atau sekelompok orang dewasa, maka yang diberi sebutan Warokan ialah mana yang paling berani, paling kuat, dan paling besar.

Dalam literatur sufi (mistisisme Islam) dikenal istilah warak (wara’), yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang di dalamnya mengandung syubhat, ترك الشبهات, karena dengan mendekati syubhat seseorang akan terjerumus kepada sesuatu yang haram. Wara’ adalah sebuah strata, kelas bagi seorang yang menempuh jalan sufi, atau populer disebut bagian dari maqamat dalam tasawuf. [3] Hal ini, -- sebagaimana yang dikutip oleh Simuh -- dari pendapat Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi yang menyebutkan ada tujuh maqam dalam tasawuf, yaitu: التوبة والورع والزهد والفقر والصبر والتوكل والرضا, “taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakkal, dan ridha.[4]

Para sufi membagi warak atas dua bagian. Pertama, warak lahiriah, yakni tidak menggunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah. Kedua, warak batiniyah, yaitu tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali dengan Allah.[5]

Kata Warak tidak terdapat dalam Alquran. Secara harfiah, warak dekat dengan kata wara’ yang artinya menahan diri supaya tidak jatuh kepada kecelakaan. Ringkasnya, wara’ adalah nilai kesucian diri. Orang Islam mengukur keutamaan, makna, atau keabsahan gagasan dan tindakan dari sejauh mana keduanya memproses penyucian dirinya. Berbahagialah orang yang menyucikan dirinya, dan celakalah orang yang mencemari dirinya (Q.S. 91: 9 – 10). Sedangkan salah satu misi Nabi Muhammad Saw. adalah “mensucikan kamu” (Q.S. 2: 151; 62: 2 dan 3: 164).

Dalam terminologi budaya Ponorogo, Warok memiliki arti yang khas. Dalam pengertiannya, Warok dibedakan dari Warokan. Warok ialah seorang pemimpin yang membawahi Warokan. Jadi Warokan berada setingkat di bawah Warok. Warokan terdiri dari pemuda-pemuda jagoan yang pada grup kesenian Reyog ia menjadi pemain ganongan atau yang memainkan barongan. Mereka adalah para pemuda pilihan yang telah membekali diri dengan ilmu. Sedangkan Warok ialah (pinituwa) pemimpin.

Seorang disebut Warok jika ia sudah besar sekali wibawanya dan besar sekali kedudukannya dalam masyarakat. Ia disegani dan dihormati. Gambaran wantah dari seluruh jiwa Warok diwujudkan dalam bentuk yang berperawakan tinggi besar, berkumis, dan berjanggut panjang. Pada pipi dan dada tumbuh bulu-bulu hitam. Ia memakai pakaian yang serba hitam. Menurut kepercayaan setempat, hitam mengandung makna keteguhan. Sedangkan lambang kesucian budi, ilmu, dan tingkah berupa ikat pinggang--koloran, usus-usus (Jawa)--yang berwarna putih, panjang, dengan ujungnya terurai. Dari sini akhirnya, didapat pengertian bahwa manusia itu perlu sekali dikuatkan dengan kesucian budi, ilmu, dan tingkah laku.

Dahulu, Warok pada umumnya menjabat sebagai Demang. Sedangkan dalam kesenian reyog ia sebagai pimpinan, yang sekaligus menjadi pemain barongan. Demikian ini dengan harapan agar jiwa ksatria dan keteguhan hati itu secara tidak langsung dapat menjiwai seluruh konco reyog atau pelaku dalam kesenian reyog.

Orang yang mendapat gelar Warok tidak banyak jumlahnya. Kadang-kadang dalam satu kecamatan hanya terdapat satu orang Warok saja atau bahkan tidak ada. Lain halnya dengan Warokan, mereka banyak dijumpai di mana-mana, sebab mereka masih dalam proses untuk menjadi Warok. Seseorang telah disebut Warok jika telah memiliki watak dan sifat sebagai berikut:

1. Sugih ilmu lan sakti. Ilmu lan kasaktene iku ora kanggo diri pribadi, kanggo mulang marang sapa bae, malah-malah marang lingkungane. [6]

Artinya: kaya akan ilmu dan sakti. Ilmu dan kesaktiannya bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk membantu siapa saja, khususnya bagi lingkungan sekitarnya.

2. Seneng tetulung liyan kanthi, sepi ing pamrih rame ing gawe, yen perlu gelem dadi korban. [7]

Artinya: Suka menolong sesama, tidak suka mengharap tapi banyak berbuat, bahkan jika perlu ia bersedia menjadi korban

3. Ngayomi marang kulowargo, tonggo teparo, lingkungan masyarakat ing desa dan negarane. [8]

Artinya: Melindungi keluarga, tetangga, lingkungan masyarakat desa dan negaranya.

4. Yen ana gawe parigawe, ngenthengake tenagane, ora ngetung marang kesangsarane laku. Yen ora ana gawe cukup ana buri, jeneng tut wuri handayani. [9]

Artinya: Jika orang lain punya kesibukan, ia suka membantu, tanpa memperhitungkan jasa. Tetapi jika tak ada kesibukan ia cukup berada di belakang, tut wuri handayani, memberi dukungan dari belakang.

5. Watake kena diucapake: “Yen lemes kena kangge tali, nanging yen pinuju kaku kena kanggu pikulan”. Tegese watak gelem ngalah, nanging yen ora keno dikalahi malah dadi musuh kang bebayani.[10]

Artinya: Wataknya bisa dikatakan; ketika lunak ia bisa menjadi tali pengikat, tetapi ketika keras dapat menjadi pengungkit. Artinya, ia punya watak mau mengalah, tetapi jika tidak bisa dikalahkan justru menjadi musuh yang berbahaya.

6. Sipat adil, temen, lan jujur. Ora pilih kasih, sing bener tetep diucapake bener, sing slah kudu seleh. Senanjanta marang bocah cilik, yen salah ya ngakoni kesalahane, kanti ucap temen lan jujur. [11]

Artinya: Bersifat adil, amanah, dan jujur. Tidak pandang bulu, yang benar dikatakan benar dan jika salah harus mengalah. Walaupun terhadap anak kecil, jika berbuat kesalahan harus mengakuinya, dengan berkata benar dan jujur.

7. Bisa dadi pandam pengaubane sesama, dadi papan pitakonan apa bae. Suka wewarah becik aweh pepadang marang wong lagi kepetengan ati. Aweh bungah marang wong lagi ketaman susah. Aweh teken marang wong kang kalunyon, aweh boga marang wong kang lagi nandang luwe.[12]

Artinya: Bisa menjadi rujukan, dan tempat bertanya tentang apa saja. Suka mengajarkan kebaikan, memberi penerang hati yang sedang kelam, menghibur orang yang susah, memberi tongkat bagi yang terpeleset, dan memberi makan kepada yang sedang kelaparan.



Di dalam Kitab Babad, Purwowijoyo menerangkan bahwa Warok berasal dari bahasa Jawa wirangi yang artinya orang yang sangat mengerti terhadap tingkah lau baik secara lahir maupun batin, sehingga ia selalu merasa malu bila melanggar kebenaran dan keadilan. Hidupnya hanya untuk sesama, masyarakat, dan negara. Semuanya dilandasi niat hanya untuk Allah. Warok berwatak lemah lembut terhadap sesama, tetapi kejam dan bengis kepada musuh “yen lemes kena kanggo tali, yen kaku kena kanggo pikulan”.[13]

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Warok dalam terminologi budaya Ponorogo tidak jauh berbeda dengan wara’ dalam literatur sufi. Jika Warok Ponorogo adalah seorang tokoh yang menempatkan dirinya pada posisi kebenaran dan keadilan, suka memberi pertolongan, memberi perlindungan, dan tumpuan bagi yang lemah, maka dalam tradisi Islam hal ini ada pada diri Salman, seorang sahabat Rasulullah Saw.

Salman adalah seorang sahabat Nabi yang terkenal dengan wara’-nya sehingga dia dianggap sebagai keluarga Nabi, ahli bait. Rasul berkata: Salman minna ahlulbayt. Ia meninggalkan keluarga dan tanah airnya di Ji, Ram Hurmuz, Persia, menjelajah berbagai negeri, sampai menjadi budak belian, hanya karena ia ingin mendekati manusia suci yang telah dijanjikan oleh kitab-kitab suci terdahulu.

Ketika diangkat menjadi gubernur pada zaman pemerintahan Umar, ia ditemukan orang memikul barang untuk orang lain. Ia tidak mau memakan tunjangan jabatannya. Bukan karena gaji itu haram, tetapi karena ia lebih memilih makanan dari hasil keringatnya sendiri. Ia merasa itulah hartanya yang paling bersih. Bila kini ada orang memilih hidup yang bersih, walaupun harus mengorbankan keuntungan, kekuasaan, popularitas, dan sebagainya, maka itulah seorang wara’, tetapi Warok Ponorogo walaupun mirip, ia adalah orang Ponorogo yang memiliki karakter menjaga harga dirinya secara ketat. Di Ponorogo tidak ada seorang Warok pun yang sudi menjadi bawahan Warok yang lain. Di antara mereka ada rasa saling menghormati dan saling menyegani, tetapi tidak mau menjadi bawahan.


2. Kehidupan Sosial Warok Ponorogo

Seorang tokoh Warok Kusni Gunopati mengatakan: “Pramilo sedoyo lelampahan ingkang sumedyo dipun lampahi puniko penujunipun mboten sanes inggih dateng kewilujengan lan kautaman”. (Semua amal perbuatan itu tujuannya adalah keselamatan dan keutamaan). Oleh karena itu, menurutnya seorang warok hanyalah orang yang perilakunya dalam bermasyarakat tidak meninggalkan sembilan jenis keutamaan (kawruh utama), yaitu: 1) ora duweni ati cidro (berhati bersih dan suci), 2) ora nganti kalebon tumindak kang nisto (jangan sampai terjerumus dalam kehinaan), 3) temen, resik, eling (jujur, tulus, dan teguh), 4) nyudo marang pepinginane panca driya (mengurangi keinginan panca indera), 5), eling, rila, sentosa (iman, ridha, dan sabar), 6) ora ngrengkuh kalawan ambeda-beda (tidak pandang bulu), 7) welas asih marang sapodo-podo, (berbelaskasih terhadap sesama), 8) lahire kang tumemen, batine kang bening, (jujur lahir batin), 9) mangeran gesang (hidup seperti Tuhan).[14]

Dalam hidup bermasyarakat, Warok Ponorogo taat kepada aturan “keselarasan antara jawab dan patrap (ucapan dan tingkah laku). Bila berkata harus diusahakan yang benar-benar bermanfaat bagi yang mendengar, tidak menimbulkan keluh kesah dan sakit hati, juga dalam amal perbuatannya. Oleh karena kebiasaan Warok menjaga perasaan dan ketenteraman orang lain inilah oleh masyarakat Ponorogo ia ditempatkan pada kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, seorang yang selalu menjadi rujukan.

Kedudukan sosial yang tinggi memotivasi seorang Warok untuk tampil sebagai pemimpin dan memiliki anak buah yang disebut Warokan. Hal ini dapat dimengerti karena seperti masyarakat Ponorogo pada umumnya, seorang Warok memiliki sifat percaya diri, selalu menjunjung tinggi harga dirinya, selalu menjadi tuan atas dirinya sendiri, dan merasa menjadi jagoan yang tidak mudah diatur oleh orang lain. Biasanya tidak ada seorang Warok pun yang sudi menjadi bawahan Warok lain. Mereka saling segan dan menghormati. Dalam masalah pribadi, biasanya juga diselesaikan secara pribadi, satu lawan satu, sportif, dan kesatria, berhadapan langsung tanpa melibatkan orang lain.

Penyandang gelar Warok lazimnya adalah orang-orang yang mumpuni, tidak sembrono, dan lurus hati. Walaupun berwatak keras, tetapi tergolong orang yang baik hati, tidak suka membuat keonaran, tetapi sebaliknya menjadi payung pengaman bagi masyarakat, suka menolong, jujur, dan sukar diajak kompromi dalam berbuat jahat.

Para Warok, umunya memiliki daerah kekuasaan tertentu dan disegani oleh masyarakat setempat. Di antara mereka sulit untuk bersatu, bahkan cenderung untuk bersaing dan berebut pengaruh demi memantapkan posisinya. Agar upayanya tercapai, para Warok melengkapi diri dengan selalu mempertajam kekuatan ilmu kanuragan dan keutamaan batin hingga ke luar daerah.


3. Spiritualisme Warok Ponorogo

Seorang tokoh Warok mengatakan: “antara warok, reyog,[15] dan konco reyog[16] itu merupakan pasangan yang tidak terpisahkan”. Di mana ada grup kesenian reyog pasti di situ ada Warok. Peran Warok besar sekali di dalam membentuk mental spiritual konco reyog. Kesenian reyog Ponorogo memiliki nilai-nilai luhur yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Nilai-nilai luhur itu meliputi: nilai filosofis, nilai edukatif, dan nilai religius (sakral). Dari kandungan nilai-nilai religius inilah unsur-unsur yang menjurus kepada hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama dihilangkan secara berangsur-angsur.

Warok Kusni Gunapati menuturkan: bahwa kata reyog mengandung penjabaran huruf r = rasa kidung, e = engwang sukma adiluhung, y = ywang agung kang pirsa, o = oleh kridaning gusti, dan g = gelar-gulung kersane kang kwasa”. Maksudnya, istilah reyog mengandung arti: segala puji bagi Tuhan yang Maha Agung, semua yang terjadi adalah karena kehendak-Nya”.[17]

Dalam kehidupan ber-ngelmu juga dalam kehidupan sehari-hari Warok Ponorogo, sering dipakai nama panggilan Gusti bagi Tuhan. Sebutan Gusti itu bukan nama pribadi, tetapi nama sebutan bagi seorang yang tinggi kedudukannya atau berkuasa. Memang dalam perbendaharaan bahasa Jawa tidak ditemukan nama pribadi bagi Kang Murba ing Dumadi, tetapi di kalangan Warok Ponorogo sering digunakan nama sebutan Gusti atau Pangeran, dan nama keterangan kang murba ing dumadi, sing gawe urip, dan lain-lain.

Keyakinan terhadap Tuhan yang sering diistilahkan dengan sebutan Gusti Ingkang Maha Kuwaos inilah yang senantiasa tertanam pada diri Warok dan konco reyog secara menyeluruh. Oleh karenanya dalam kesenian reyog setiap aktivitas yang akan dilakukan, termasuk mantra-mantra yang dibaca sebagai doa selalu disandarkan kepada Tuhan dengan bacaan “basmalah”.

Dalam kitab Jawi PAMU (Purwa Aju Mardi Utama) karya seorang tokoh kejawen R. M. Djojopoernomo dinyatakan bahwa: “ana dene lelakon kang tanpa tjatjat iku kudu netepi marang agama Islam” (Hidup yang tanpa cacat harus memeluk agama Islam). Walaupun konsep ketuhanan dalam ajaran kejawen ini tidak dijelaskan bahwa ingkang maha kuwaos itu adalah Allah Swt, akan tetapi bagi para Warok yang beragama Islam (mayoritas Warok beragama Islam), semakin bisa menerima dan menanamkan nilai-nilai aqidah tersebut ke dalam hati sanubarinya. Dengan nilai-nilai aqidah yang tertanam dengan baik ini secara berangsur-angsur mampu menghilangkan hal-hal yang berbau syirik dalam kehidupan spiritualnya.

Nilai religius yang dikembangkan oleh Warok dalam hal ini adalah:

Gumelaring manungsa iki kabeh pada duwe penggayuh lan pangudi marang agama kelawan ngelmu, mungguh perlune iku mung rong prakara, jaiku; kanggo ngrenggo djiwa lawan rumeksa djiwa. Perlune pangrenggo kangge panolaking barang kang saru, perlune pangreksa kanggo netepake marang rahaju”.[18]

Artinya:

Terciptanya semua manusia memiliki cita-cita dan kehendak terhadap agama dan ngelmu, gunanya untuk dua hal yaitu: untuk menghiasi jiwa dan memelihara jiwa, fungsi penghias untuk menghindar dari hal-hal yang buruk, dan fungsi pemelihara jiwa untuk memperoleh kebaikan.

Ngelmu dalam hal ini dibedakan dari kawruh (ilmu pengetahuan) nglemu merupakan suatu cara untuk mendalami ketuhanan, yaitu mendalami ketuhanan dengan suatu cara yang lain yaitu tanpa guru dan tanpa buku, tetapi dengan Tuhan. Sedangkan ilmu pengetahuan (kawruh) adalah pengumpulan pengertian tentang suatu soal yang didapat, karena tahu. Tahu berarti mencerap perangsang indera, berkesan dan mengerti kesan itu.[19]

Seorang Warokan, mengatakan:

Manungsa iku makhluk lair lan batin, yo katon yo ora katon. Mula kuwi bisa sesaba marang sepada-pada kang katon uga kang ora katon. Manungsa bisa manunggal tekat, manunggal gawe, lan liya-liyane kalawan sepada-pada kanti migunaake kawruh lahir, manungsa uga bisa menunggal karsa kalawan kang Maha Kuwasa kanti ngeraga sukma.[20]

Artinya:

Manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani. Unsur jasmani dapat dilihat, sedangkan unsur rohani tidak. Oleh karena itu di samping bisa beradaptasi dengan sesamanya ia juga bisa menyadap keberadaan Tuhan dan menyamakan kemauan dengan Tuhan melalui raga sukma.

Dalam kehidupan sehari-hari Warok Ponorogo selalu mengolah batinnya agar bisa sejiwa atau sesuai dengan prinsip hidup yang diterima dalam hati. Sebagai seorang petani, Warok Ponorogo mengenal filsafat “pak tani mengolah dan menggarap sawah”. Mengolah tanah mengandung pengertian: menyediakan alat-alatnya untuk menggarap tanah, membajak, menggaru, mencangkul, dan memupuk. Sedangkan menggarap adalah aktivitas yang dilakukan setelah proses pengolahan.

Bajak (luku Jawa) sebagai alat untuk menggarap tanah dapat diasosiasikan dengan kehidupan spiritual. Nama-nama bagian dari bajak itu dalam bahasa Jawa adalah:

Cekelan (pegangan), cekelan atau pegangan di dalam kehidupan spiritual yang tertentu memudahkan untuk mencapai tujuan. Dalam rangka mengetahui larangan dan kewajiban manusia terhadap Gusti seyogyanya manusia mencari pegangan.

Tanding, (membanding, memikirkan, menimbang). Semua pengertian rohani yang diperoleh dari pegangan jangan sampai diterima apa adanya, tanpa memikirkan dan membandingkan dengan yang lain, agar dapat menempatkan sebagaimana mestinya.

Singkal, (sing tinemu ing akal). Dengan cara yang dapat diterima akal budi manusia. Hanyalah pengertian yang wajar yang dapat mendamaikan hati dan diterima logika akal dan logika hati.

Kajen, (menyang kasawijen). Kedalaman manunggaling kawula gusti. Satu-satunya tujuan rohani adalah persatuan rasa dan persatuan karsa. Kepada tujuan ini semua pemikiran dan gagasan rohani harus terarah.

Tuntunan (pimpinan). Semua pangikut ngelmu harus patuh terhadap tuntunan daya gaib Gusti. Guru nglemu hanya berkewajiban mempersiapkan untuk hidup berngelmu.

Pasangan (dua tempat kerja yang berpasangan). Kedua daya kerja yang membawa manusia maju dalam hidup rohani adalah: Daya gaib Gusti dan daya kodrat manusia, yaitu niat dan patrap (perbuatan). Untuk kelancaran hidup berngelmu manusia harus sesuai antara niat dan patrap.

Sawet (sawetah). Sawet ada dua, demikian pula sawetah; sawetah yang bersifat tan-ana dan sawetah yang bersifat mawana.

Racuk (ngeraho pucuk). Tujulah yang paling atas. Satu-satunya tujuan yang paling sempurna dalam hidup berngelmu ialah kebebasan kekal.

Bajak sawah digunakan oleh petani untuk menggarap sawah ladangnya, membalik tanah agar tanah subur yang berada di bawah bisa menimbuni tanah gersang di bagian atas. Di atas tanah yang subur tentu tanaman akan tumbuh subur dan baik buahnya.

Jika dikaitkan dengan kehidupan spiritual Warok Ponorogo, mengolah tanah adalah simbul dari olah batin. Sedangkan menggarap tanah adalah simbul dari hidup ber-ngelmu. Ngelmu adalah pengetrapan lelaku. Lelaku adalah jalan hidup yang bertitik tolak dari niat dan tekat manusia dan bertujuan cita pengharapan ngelmu. Begitulah yang diharapkan dalam kehidupan spiritual. Ngelmu dapat tumbuh dan berkembang pada batin manusia yang telah dibersihkan dari hal-hal yang tidak diterimanya. Dari batin yang bersih akan melahirkan manusia suci yang bermanfaat bagi sesamanya.

Manusia suci dalam Islam disebut manusia takwa (QS. 10: 62 – 64). Manusia takwa adalah wali-wali Allah yang “semula mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia” أومن كان ميتا فأحييناه وجعلنا له نورا يمشي به في الناس (QS. 6: 122).

Untuk memperoleh cahaya yang terang diperlukan upaya sebagaimana diperlukan sekolah untuk mendidik manusia-manusia intelektual, maka diperlukan pula madrasah ruhaniyah untuk menghasilkan manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniyah ini dalam Islam adalah puasa.

Di kalangan Warok Ponorogo berlaku amalan-amalan untuk mempertebal kekuatan spiritualnya. Salah satunya adalah puasa. Melakukan puasa bagi mareka ada bermacam-macam cara tergantung tujuan yang hendak dicapainya. Secara keseluruhan amalan puasa Warok Ponorogo mengikuti aturan syariat Islam, tetapi terdapat aturan tambahan yang berasal dari tradisi lain, sebagai berikut:

Puasa ngrowot, yaitu berpuasa dengan berpantang nasi, makanan yang mengandung gula, rasa pedas, dan rasa asin.

Puasa ngidang, yaitu hanya makan sayur-sayuran saja dengan tangan diikat di bambu kuning, bila makan harus dengan menggunakan mulutnya seperti kijang, tidak boleh dengan tangan atau kaki.

Puasa mendem, yaitu tinggal di dalam lubang tanah, tidak boleh terkena sinar matahari atau cahaya apapun, gelap seperti dalam liang kubur.

Puasa patigeni, yaitu harus bertapa di dalam bilik, dilarang melihat api, tetapi boleh minum air putih. Puasa ini berlangsung sehari semalam sejak pertengahan malam hingga paroh malam berikutnya.

Puasa mutih, yaitu hanya boleh makan nasi putih, tanpa lauk-pauk, minum hanya dengan air putih, dan dilakukan sama dengan puasa mati geni.

Puasa ngalong, yaitu hanya diperbolehkan makan buah-buahan, bila malam dilarang tidur, mata tidak boleh terpejam walau sekejap, harus melotot seperti kelelawar.

Puasa ngasep, yaitu hanya boleh minum air putih murni dingin tanpa dicampuri apapun dan makan makanan yang telah dingin.

Puasa ngepel, yaitu boleh makan nasi dengan cara dikepal, digenggam sebanyak bilangan angka ganjil.

Puasa ngebleng, yaitu tidak boleh makan minum jenis apapun, tidak boleh tidur semalam suntuk, kecuali menjelang terbit matahari, tidak boleh keluar dari bilik meskipun untuk keperluan buang air besar dan kecil.



D. Penutup



Warok adalah simbol penghargaan sosial yang tinggi di Ponorogo. Siapapun yang menyandang gelar Warok di pundaknya dipikul tanggung jawab kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Pada kehidupan spiritual Warok Ponorogo telah terjadi akulturasi ajaran tasawuf Islam dan tradisi Jawa tradisional, sehingga disebut Islam kejawen. Hal ini nampak pada kebiasaan warok dalam menyebut nama Tuhan menggunakan nama Gusti, Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos, Tuhan yang Maha Esa dan Pangeran, Pageran Ingkang Maha Agung, Tuhan yang Maha Agung. Beberapa amalan seperti puasa, juga dilakukan dengan memadukan antara ajaran Islam dengan ajaran Jawa tradisional, sehingga ada istilah puasa ngrowot, ngidang, patigeni, mutih, ngasep, dan lain-lain.
Walaupun di dalam spiritualisme Warok Ponorogo terdapat keunikan dalam amaliahnya, tetapi hal ini dilakukan untuk mempertebal kekuatan spiritualnya. Mereka memahami Islam dalam keterkaitan dengan kepercayaan dan tradisi setempat
Read More : WAROK

Pesona air terjun tumpuk sawoo


Suatu senja sore dan tanpa direncanakan sebelumnya, dan dari pada bengong dirumah, maka saya dan teman saya mencoba keliling lagi karena sudah lama tidak mengadakan penjelajahan, khususnya daerah Ponorogo dan sekitarnya. Yup, bertempat di Desa Tumpuk Kecamatan sawoo Ponorogo, yang tepatnya desa sebelum perbatasan Ponorogo-trenggalek, saya mencoba mencari suatu tempat untuk hanya sekedar foto-foto untuk narsis. Ya sebelumnya saya juga tidak tahu akan kemana tujuannya, tapi setelah mengamati dari jalan raya Ponorogo-Trenggalek (pandangan saya arahkan ke suatu lembah). dan saya pun menuju ketempat tersebut. Dan ternyata benar saja, saya dapat menikmati pemandangan yang luar biasa dibawah jembatan yang akan menuju desa tersebut.

Batu-batu besar, kelokan-kelokan air yang terbentuk proses alam, jernihnya air yang segar, menghiasi proses pengambilan gambar. Dan kalau saya bisa berkata, ini adalah seperti water boom alami, karena bentuk aliran diatas batu cadas yang halus bekelok-kelok. Aliran air disungai yang namanya sendiri kurang tahu namanya ini membentuk air terjun tiga tingkat yang rta tingginya sekitar 4 sampai 7 meter, dan setiap tingkat mempunyai kolam besar yang dalam dibawah jatuhnya air tersebut.
Read More : Pesona air terjun tumpuk sawoo

Wisata Ngembak Ponorogo


Salah satu taman wisata potensial yang ada di Ponorogo adalah Taman Wisata Ngembak. Taman yang cukup dekat dengan pusat kota ini menawarkan berbagi sarana untuk bermain dan sangat tepat sebagai tujuan berlibur keluarga. Selain dekat tiket masukpun cukup terjangkau.

Sebelumnya Ngembak dikenal sebagai mata air yang tak terawat. Sekarang oleh Pemkab Ponorogo di sulap sebagai taman kota yang dilengkapi dengan kolam renang anak dan juga beberap permainan anak-anak.

Selain di atas, ada wahana baru yakni . Hmm… menarik bukan tinggal mengayuh sepeda dari pusat kota ke arah timur (ke arah Jeruksing) Anda akan menjumpai taman wisata yang menyenangkan buat keluarga. Sayangnya taman wisata ini tidak diimbangi dengan luas lahan. Sudah seharusnya pejabat berwenang memikirkan perluasan lahan
Read More : Wisata Ngembak Ponorogo

Dawet Jabung


Sehari selepas HUT Kemerdekaan RI ke-64. 18 Agustus 2009. Orang-orang masih berpanjat pinang atau berbalap karung. Tetapi bagi kami, tak ada yang lebih penting ketimbang mengayuh sepeda kumbang menuju luar kota.

Hari ini, kami tunaikan nadzar kami 17 tahun yang lalu. Bahwa jika kami lulus UMPTN dan diterima di Perguruan Tinggi pilihan, maka kami akan mengadakan perjalanan naik sepeda angin keluar kota Ponorogo. Maka diterimalah saya di Jurusan Teknik Komputer ITS Surabaya. Sedangkan Mohan, sahabat senasib senadzar itu, diterima di Fakultas Psikologi UGM Jogjakarta -- yang kemudian tak benar-benar dimasukinya itu.



Sebuah nadzar yang terkesan main-main barangkali. Karenanya tak heran jika isteri saya masih setengah percaya setengah tidak ketika kami putuskan untuk pulang di HUT RI ke-62 ini untuk menyelesaikan nadzar yang tertunda 17 tahun itu. Bagaimanapun, sesederhana apapun, nadzar tetaplah nadzar.

***

Bukan tanpa alasan kami memilih Jabung sebagai tujuan kunjungan kami menggunakan sepeda angin ini. Jabung berada di luar kota Ponorogo -- syarat nadzar kami. Tempat itu tak terlampau jauh dijangkau dari kota. Dan ini yang penting, ketika tiba di Jabung, maka rasa dahaga kami sudah tersedia obatnya di daerah itu. Karena Jabung terkenal dengan dawet Jabung yang khas.



Sepanjang jalan 6 km dari kota ke arah selatan Ponorogo adalah jarak yang tak terlampau jauh untuk ditempuh. Apalagi bersepeda angin sambil berbincang tentang masa 17 tahun yang lewat, membuat jarak serasa begitu dekat. Sawah yang masih menghijau di kanan kiri jalan membuat pegal linu di tungkai seperti terusir diam-diam. Bahkan ketika cerita belum selesai, tempat tujuan sudah tercapai. Kamipun lantas menghabiskan cerita nostalgia itu dengan duduk-duduk di rerimbunan pohon pinggir jalan, sambil melepas lelah.

***

Jabung bisa ditempuh lewat jalur Jeruk Sing, Siman, atau memutar melalui Dengok, selatan Alun-alun kota Ponorogo. Berjarak sekitar 6 km dari Jeruk Sing. Tempat itu bisa dijangkau dengan mobil angkutan umum, dokar, atau bersepeda angin seperti saya. Tentu saja silakan jika Anda bermobil pribadi atau bersepeda motor.

Tempat itu dekat dengan Mlarak, tempat di mana komplek Pondok Pesantren Gontor yang terkenal itu berada. Perempatannya merupakan persimpangan ke PP Gontor (Timur), Jetis (Selatan), PP Ngabar (Barat), serta Siman di utara. Di perempatan itulah pusat penjual dawet Jabung mangkal, turun-temurun.



Salah seorang diantaranya, yang telah sangat lama berjualan di sana adalah Hj. Sumiani. Warungnya terletak di pojok Timur-Selatan perempatan Jabung. Strategis, karena terlihat dari hampir setiap tempat. Tak terlampau besar, tetapi lengkap. Dan yang penting, tak pernah sepi pengunjung. Di sanalah kami puaskan rasa dahaga dan rindu. Dua mangkok dawet dan empat penganan serasa sama dengan makan siang.



Dan seperti tercengang yang direncanakan, meski kami memborong 28 mangkok dawet dan 45 penganan, kami hanya mengeluarkan kocek Rp. 32.500,- saja! Tentu sebagian (besar) kami bawa pulang untuk keluarga.

***

Jika Anda ke Ponorogo, tak lengkap rasanya jika tak menyempatkan diri mencicipi dawet Jabung yang melegenda dan masih super murah ini. Meski sayang keberadaannya seperti tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemda setempat (dari tahun ke tahun tak ada pertambahan dan pertumbuhan yang berarti), tetapi setidaknya Jabung masih menjadi tujuan wisata kuliner yang layak untuk dikunjungi.
Read More : Dawet Jabung

Sejarah Berdirinya Pondok Gontor

Drs. H. Husnan Bey Fananie, MA. sangat terkait dengan Pondok Modern Gontor. Beliau adalah cucu dari Pendiri Pesantren ini yang didirikan pada 10 April 1926 di Ponorogo, Jawa Timur oleh tiga bersaudara putra Kiai Santoso Anom Besari. Tiga bersaudara ini adalah KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam
Zarkasyi dan yang kemudian dikenal dengan istilah Trimurti (foto dibawah ini). Pada masa itu pesantren ditempatkan diluar garis modernisasi, dimana para santri pesantren oleh masyarakat dianggap pintar soal agama tetapi buta akan pengetahuan umum. Trimurti kemudian menerapkan format baru dan mendirikan pondok gontor dengan mempertahankan sebagian tradisi
pesantren salaf dan mengubah metode pengajaran pesantren yang menggunakan sistem wetonan (massal) dan sorogan (individu) diganti dengan sistem klasik seperti sekolah umum. Pada awalnya Pondok Gontor hanya memiliki Tarbiyatul Atfhfal (setingkat taman kanak kanak) lalu meningkat dengan didirikannya Kulliyatul Mu’alimat Al-Islami (KMI) yang setara dengan lulusan sekolah menengah pertama. Pada tahun 1963 pondok gontor mendirikan Institut Studi Islam Darussalam (ISID). Foto di atas adalah foto KH. Zainudin Fananie (duduk di tengah, jas hitam), Istri beliau, Hj. Rabiah (duduk di kiri), dan adik istri Beliau, Hj. Samsidar (duduk sebelah kanan), KH. Imam Zarkasyi (nomor dua berdiri dari kanan).

Pesantren Gontor dikelola oleh Badan Wakaf yang beranggotakan Tokoh-tokoh alumni pesantren dan Tokoh yang peduli Islam sebagai penentu Kebijakan Pesantren dan untuk pelaksanaannya dijalankan oleh tiga orang pengasuh (Kyai) yaitu KH. Hasan Abdullah Sahal (Putra KH Ahmad Sahal). KH Syukri Zarkasyi (putra KH.Imam Zarkasyi) dan KH. Imam Badri. Tradisi pengelolaan oleh tiga pengasuh ini melanjutkan pola
Trimurti (Pendiri).

Pada saat peristiwa Madiun tahun 1948 saat Muso telah menguasai daerah Karesidenan Madiun (Madiun Ponorogo, Magetan, Pacitan dan Ngawi) dan membunuhi banyak tokoh agama, TNI sudah dilumpuhkan oleh PKI, Pesantren Gontor diliburkan dan santri serta ustadnya hijrah dan menghindar dari kejaran pasukan Muso. KH. Ahmad Sahal (alm) selamat dalam persembunyian di sebuah Gua di pegunungan daerah Mlarak. Gua tersebut kini disebut dengan Gua Ahmad Sahal. Kegiatan Pendidikan Pesantren dilanjutkan
kembali setelah kondisi normal.

Pandangan Modern KH Ahmad Sahal, sebagai Pendiri tertua dari Trimurti dan kedua adiknya yaitu KH. Zainudin Fananie dan KH. Imam Zarkasyi diwujudkan pula dalam menyekolahkan putra-putrinya selain di sekolah agama (pesantren) juga di sekolah umum. Drs. H. Ali Syaifullah Sahal (alm) alumni Filsafat UGM dan sebuah Universitas di Australia, dosen di IKIP Malang; Dra. Hj. Rukayah Sahal dosen IKIP (UMJ) Jakarta dll.

Dan tentu menjadi bahan pemikiran anggota Badan Wakaf saat ini untukmewujudkan Pesantren Gontor menjadi semacam Universitas Al Azhar di Mesir, sebuah universtas yang memiliki berbagai bidang kajian (Agama serta Ilmu dan Teknologi) berbasis Islam.

Pada tahun 1994, didirikan pondok khusus putri untuk tingkat KMI dan pendidikan tinggi yang khusus menerima alumni KMI. Pondok khusus putri ini menempati tanah wakaf seluas 187 hektar. Terletak di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Kini, pondok khusus putri memiliki empat cabang, tiga cabang berlokasi di Ngawi dan satu cabang di Sulawesi Tenggara.

Hingga kini Gontor telah memiliki 10 cabang yang terdiri dari 13 kampus di seluruh Indonesia dan santri/ santriwatinya mencapai 14.273 orang. Tidak seperti pesantren pada umumnya, para pengajarnya pun
berdasi dan bercelana panjang pantalon.
Read More : Sejarah Berdirinya Pondok Gontor

Sabtu, 20 Februari 2010

Tarian Reog Ponorogo


Cerita reog yang terkandung di dalam reog ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Bujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Maka terciptalah reog ponorogo. Gerakan-gerakan dalam tari reog ponorogo menggambarkan tingkah polah manusia dalam perjalanan hidup mulai lahir, hidup, hingga mati. Filosofinya sangat dalam.


Komponen Penari dalam Reog

Ada 5 komponen penari dalam tari Reog Ponorogo, yaitu: 1. Prabu Kelono Sewandono 2. Patih Bujangganong 3. Jathil 4. Warok 5. Pembarong

1. Prabu Kelono Sewandono Prabu Kelono Sewandono ini adalah tokoh utama dalam tari Reog Ponorogo. Beliau digambarkan sebagai seorang Raja yang gagah berani dan bijaksana, digambarkan sebagai manusia dengan sayap dan topeng merah. Beliau memiliki senjata pamungkas yang disebut Pecut Samandiman.

2. Patih Bujangganong Patih bujangganong adalah patih dari Prabu Kelono Sewandono, merupakan tokoh protagonis dalam tarian ini. Dia digambarkan sebagai patih yang bertubuh kecil dan pendek, namun cerdik dan lincah. Patih Bujangganong disebut juga penthulan. Penarinya tidak memakai baju, hanya rompi berwarna merah dan topeng berwarna merah juga.

3. Jathil Jathil atau Jathilan adalah sepasukan prajurit wanita berkuda. Dalam tari Reog Ponorogo, penari Jathil adalah wanita. Mereka digambarkan sebagai prajurit wanita yang cantik dan berani. Kostum yang dikenakan penari Jathil adalah kemeja satin putih sebagai atasan dan jarit batik sebagai bawahan. Mereka mengenakan udheng sebagai penutup kepala dan mengendarai kuda kepang (kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu)

4. Warok Warok adalah pasukan Kelono Sewandono yang digambarkan sebagai orang yang sakti mandraguna dan kebal terhadap senjata tajam. Penari warok adalah pria dan umumnya berbadan besar. Warok mengenakan baju hitam-hitam (celana gombrong hitam dan baju hitam yang tidak dikancingkan) yang disebut Penadhon. Penadhon ini sekarang juga digunakan sebagai pakaian budaya resmi Kabupaten Ponorogo. Warok dibagi menjadi dua, yaitu warok tua dan warok muda. Perbedaan mereka terletak pada kostum yang dikenakan, dimana warok tua mengenakan kemeja putih sebelum penadhon dan membawa tongkat, sedangkan warok muda tidak mengenakan apa-apa selain penadhon dan tidak membawa tongkat. Senjata pamungkas para warok adalah tali kolor warna putih yang tebal.

5. Pembarong Pembarong adalah penari yang memiliki peranan paling penting dalam tari Reog Ponorogo. Pembarong adalah penari yang nantinya akan membawa Dadak Merak (topeng kepala singa dengan hiasan burung merah dan bulunya di atas kepala singa) yang tingginya satu setengah meter. Pembarong mengenakan celana panjang hitam dan baju kimplong (baju yang hanya punya satu cantelan bahu) dan harus menggigit kayu di bagian dalam kepala singa untuk mengangkat Dadak Merak. Seorang pembarong haruslah orang yang sangat kuat, karena dia harus bisa menundukkan Dadak Merak hingga menyentuh lantai dan mengangkatnya lagi ke posisi tegak. Dadak Merak disimbolkan sebagai Singobarong, dan secara umum Dadak Merak inilah yang membuat tari Reog Ponorogo menjadi sangat unik, karena bentuk topengnya yang sangat besar dan khas serta adanya filosofi di dalamnya. Karena itu, pembarong benar-benar harus memiliki keterampilan dan kemampuan yang tinggi agar bisa menghidupkan Singobarong yang dimainkannya.
Read More : Tarian Reog Ponorogo

Jalan Jalan di Kota Reog


Ponorogo kota reyog.. Disinilah ‘markas besar’ kesenian reyog yang menjadi salah satu icon Indonesia di mata dunia. Sebuah kota kecil dengan segala ke-khas-an nya yang mampu menyihir jutaan manusia untuk menengok eloknya kota reyog. Kota seribu warok, mungkin kata tersebut juga tepat untuk ditempatkan sejajar dengan istilah kota reyog. Mengapa tidak, ketika orang berbicara tentang reyog, maka tak akan mampu dipisahkan dengan warok yang juga menjadi sebutan khas untuk orang Ponorogo. Selain itu masih banyak lagi alasan yang menjadikan Ponorogo untuk dikunjungi.


Selain reyog, Ponorogo juga mempunyai satu wisata budaya yang sangat sayang untuk di lewatkan. Grebeg Suro atau suroan, begitulah orang menyebutnya. Rutinitas yang di gelar tiap bulan Suro (Muharam) ini adalah salah satu event terbesar yang di gelar di Ponorogo.Berbagai kegiatan ikut meramaikan pesta tahunan rakyat Ponorogo ini. Seperti Kirab Pusaka, Larung Do’a di Telaga Ngebel, Festival Reyog Nasional dan masih banyak lagi kegiatan yang diselenggarakan untuk memeriahkan bulan Suro di Ponorogo.

Di kota manapaun, ternyata wisata masih menajdi salah satu magnet kuat untuk menarik wisatawan. Begitu halnya dengan Ponorogo. Bukan hanya dengan penampilan seni reyog yang telah tersohor sampai ke negeri seberang, tetapi Ponorogo mencoba mengundang ‘tamu’ sebanyak-banyaknya dengan berbagai macam suguhan wisata yang tak kalah menarik dengan daerah lain. Ada wisata budaya, wisata religi, wisata kuliner dan juga wisata alam yang begitu mempesona.

Dipusat kota Ponorogo, terdapat sebuah gedung bertingkat yang sangat megah, gagah, dan berwibawa, menggambarkan kepribadian pemerintahan Ponorogo yang siap mensejahterakan rakyatnya. Di depannya terdapat tanah luas dengan ‘dijaga’ oleh singa-singa perkasa di empat sudutnya. Juga terdapat sebuah panggung raksasa yang siap memamerkan seni dan kreatifitas seluruh maha karya yang terdapat di Ponorogo. Inilah yang disebut Aloon-Aloon Ponorogo, yang siap menanti kehadiran warganya untuk menyaksikan betapa dahsyat nya kota Ponorogo. Disisi barat aloon-aloon terdapat sebuah masjid yang sangat indah, yang cukup untuk melukiskan keindahan jiwa-jiwa religi masyarakat Ponorogo. Sebuah menara tinggi ikut mendampingi bangunan utama Masjid Agung Ponorogo letaknya di samping pintu utama masjid. Dengan di doninasi warna hijaunya, masjid tersebut menjanjikan kedamaian bagi setiap orang yang memasukinya untuk beribadah kepada Sang Maha Pencipta.

Mencoba menelusuri jalan menuju pinggiran kota Ponorogo sebelah selatan, disana kita akan temukan sebuah sentra industri kompor. Tepatnya arah selatan kota Ponorogo sekitar 2 km dari pusat kota. Kebanyakan masyarakat Ponorogo menyebutnya dengan sebutan ‘kompor Paju’. Ya, karena kompor-kompor tersebut di buat di kelurahan Paju, Ponorogo. Di kawasan ini pula sedang di bangun sebuah rumah sakit dengan menelan biaya sebesar Rp. 57.582.600.000,- (ponorogo.go.id).

Menuju ke desa Josari kec. Jetis, disini kita akan disughi salah satu makanan khas POnorogo yaitu jenang Mirah. Disebut jenang Mirah karena yang mempunyai usaha ini bernama Mbah Mirah. Makanan ini terbuat dari tepung beras atau ketan yang kemudian dimasak dengan di campur santan kelapa dan gula. Rasanya yang lezat pasti akan membuat kita semkain kangen dengan slah satu produk andalan Ponorogo ini. Bukan hanya rasanya yang fantastic, tapi cara membuatnya pun juga unik. Mungkin inilah yang membuat jenang Mirah semakin khas sehingga orang tak mudah untuk menirunya.

Masih di seputaran kec. Jetis, tepatnya arah timur laut dari perepatan jetis disana kita akan menjumpai sebuah bangunan masjid dan makam seorang penyebar islam di desa Tegalsari. Masjid Tegalsari, begitulah kebanyakan warga menyebutnya. Masjid ini selalu ramai di kunjungi oleh para peziarah, terutama pada bulan Ramadhan pada 10 hari terakhir.

Di kec. Mlarak tepatnya di desa Gontor, akan kita temukan sebuah pondok yang berpaham modern yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Pondok ini adalah pondok yang telah bertaraf internasional. Para santrinya berasal dari seluruh pelosok Indonesia, konon ustadz nya (guru) ada yang sebagian di datangkan dari luar negeri.

Arah barat dari Gontor kita akan menuju ke desa Jabung. Disinilah kita akan merasakan nikmatnya dawet Jabung. Sentra warung dawet ini ada di seputaran perempatan jabung. Dengan harga yang cukup terjangkau kita akan merasakan kenikmatan dawet asli jabung yang tidak kan kita dapatkan di tempat lain.

Setelah kita capek putar-putar di ‘dataran rendah’ langsung saja kita menuju ‘puncak’ Ngebel. Sudah tidak asing lagi bagi kita bahwa disini kita akan mendapatkan kesejukan khas telaga Ngebel. Panorma yang cukup memikat, dengan udara yang sejuk siap melupakan penat kesibukan kita sehari-hari. Kurang lengkap jika kita tidak sekalian menyantap ikan nila bakar khas Ngebel. Banayak rumah makan yang berada di pinngir telaga yang siap memanjakan kita denagn pesona yang luar biasa serta lezatnya nila bakar tersebut. Disini pula tempat digelarnya larung do’a yang selalu dilaksanakan pada tiap 1 suro.

Selain itu masih banyak sekali yang kita dapat nikmati di Ponorogo, ada sate Ponorogo, nasi pecel Ponorogo, gethuk, atau sekedar melepas lelah sambil nyantai di angkringan pinggiran jalan baru (dalan anyar) yang siap memberikan kenikmatan es degannya. Di daerah Soomoroto kita juga akan menjumpai sentra kerajinan reyog, di Paju juga ada sentra industri gamelan dan soufenir khas reyog. Di pegunungan Sooko kita kan dibuat terpesona oleh indahnya air terjun Plethuk. Juga tak jauh dari sana kita kan menemukan goa Maria Fatima yang tak kalah eloknya.Dan masih banyak lagi yang membuat Ponorogo semakin dikenal se-antero jagad ini. Dari Ponorogo menyapa dunia.
Read More : Jalan Jalan di Kota Reog

Reog Tempoe Dulu Dan Sekarang


Sebentar lagi pergantian tahun dalam penanggalan Islam akan segera datang. Untuk menyambut kedatangannya banyak masyarakat Muslim yang merayakannya. Di berbagai daerah diselenggarakan acara-acara untuk memperingati 1 Muharam dalam penanggalan Islam yang sekaligus bertepatan dengan 1 Suro dalam penanggalan Jawa. Salah satunya di Kabupaten Ponorogo. Untuk menyambut pergantian tahun Islam dan pergantian tahun Jawa ini, pemerintah Kabupaten Ponorogo selalu menggelar acara rutin yaitu Grebeg Suro. Di dalam rangkaian acara Grebeg Suro terdapat even bertaraf Nasional, yaitu Festival Reog Nasional. Festival ini bertujuan untuk menjaga kelestarian kesenian Reog Ponorogo dan menunjukan bahwa Ponorogo merupakan Bumi Reog. Tempat dimana kesenian adiluhung ini berasal. Ponorogo yang dulunya merupakan tanah Wengker memang diyakini sebagai tempat Reog lahir. Hal ini didasari warisan cerita turun temurun tentang asal usul Reog. Ada berbagai versi cerita tentang asal usul Reog

Yang pertama versi Bantarangin. Bantarangin merupakan kerajaan yang ada di Ponorogo yang dipimpin seorang raja bernama Prabu Kelana Sewandana. Menurut versi ini, asal mula reog ketika Prabu Kelana Sewandana berkelana mencari pendamping hidup yang ditemani oleh pasukan berkuda dan patihnya yang setia, Bujangganong. Pilihan sang prabu jatuh ke gadis putri raja Kediri, Dewi Sanggalangit. Perjuangan untuk memboyong Dewi Sanggalangit tidak semudah membalikkan telapak tangan, sang putri mau dijadikan istri sang prabu jika sang prabu mampu memenuhi persyaratan yang diajukannya. Ia minta kepada sang prabu agar menciptakan sebuah kesenian yang belum pernah ada sebelumnya.

Kedua, versi Ki Ageng Kutu Suryangalam. Versi ini mencereritakan pemberontakan Ki Ageng Kutu atau yang sering disebut Demang Suryangalam. Ki Ageng Kutu merupakan abdi kerajaan pada masa pemerintahan Bra Kertabumi. Ki Ageng Kutu murka akan kepemimpinan Bra Kertabumi yang dianggap sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu kuat menerima pengaruh rekan Cinanya dan dikendalikan oleh permaisurinya. Demang Suryangalam akhirnya keluar dari kerajaan dan mendirikan perguruan yang mendidik pemuda-pemuda setempat. Sebagai bentuk sindiran terhadap pemerintahan Bra Kertabumi, Ki Ageng Kutu menciptakan barongan yang terbuat dari kulit macan gembong yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan kepala singa dan permaisuri dilambangkan burung merak. Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggang kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Pagelaran Reog dijadikan Ki Ageng Kutu sebagai cara pelawanan masyarakat lokal melalui kepopuleran reog.

Ketiga, versi Batoro Katong. Batoro Katong adalah bupati pertama yang memerintah di Ponorogo. Barongan dijadikan salah satu alat untuk mengumpulkan massa dan sebagai media komunikasi yang efektif. Batoro Katong memerintahkan kepada Ki Ageng Mirah untuk membuat cerita legendaris mengenai kerajaan Bantarangin yang oleh sebagian besar masyarakat dipercaya sebagai sejarah asal-usul Reog Ponorogo. Batoro Katong memanfaatkan kesenian barongan sebagai media dakwah menyebarkan Islam di Tanah Wengker. Nama barongan kemudian dirubah menjadi reyog, yang diambil dari bahasa Arab riyoqun yang berarti khusnul khotimah.

Terlepas dari versi asal-usul reog, bagaimanakah perkembangan reog itu sendiri?

Reog mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu hingga menjadi reog seperti yang kita lihat saat ini. Perubahan-perubahan mendasar dapat kita lihat dari beberapa hal antara lain

Tulisan

Kata Reog dulunya adalah Reyog. Kata reyog yang diubah menjadi Reog dikarenakan kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan pemda menghapuskan huruf “y” dalam reyog ini memang didasarkan pada penulisan dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Depdiknas pada tahun 1983. Dalam kamus itu memang dituliskan bukan reyog tetapi reog. Belakangan penulisan reog dijadikan slogan kota oleh pemda, yang berarti resik, omber, dan girang gumirang. Padahal dalam prinsip konco reyog, terutama Embah Bikan, dan (alm) Embah Mujab dan juga yang tersirat dalam Babad Ponorogo menjelaskan bahwa reyog itu mereprsentasikan makna teologis-kultural masyarakat Ponorogo yang masih bernama Wengker waktu itu. Reyog mereka maknai (r) rasa kidung, (e) engwang sukma adilihung, (y) Yang Widhi, (o) olah kridaning Gusti, dan (g) gelar gulung kersaning Kang Moho Kuoso.

Penggantian reyog menjadi reog pada saat itu sempat menimbulkan polemik. Bupati Ponorogo yang saat itu dijabat oleh Markum Singodimejo yang mencetuskan nama reog tetap mempertahankan sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo. Peran pemerintah dalam pergeseran itu cukup signifikan, dengan berbagai instruksi bupati, wajah reog sedikit demi sedikit beribah menjadi lebih teratur dan seragam.

Pergeseran nilai makna gemblak

Bicara tentang Reog tidak bisa lepas dari istilah penari jathil, yaitu sejenis tarian yang menjadi bagian dari reog. Pada awalnya kata jathil di masyarakat diidentikkan dengan istilah gemblak. Kenapa demikian? Karena gemblak berasal dari jathil. Istilah gemblak terjadi pada zaman Demang Suryangalam. Selain menjadi demang ia juga mendirikan sebuah perguruan, para siswanya diberi ilmu kesaktian dan kebal terhadap semua senjata, merekalah yang disebut warok. Untuk menjadi warok harus menjalankan laku, syaratnya seorang warok harus bisa mengekang hawa nafsu, menahan lapar dan haus serta tidak bersentuhan dengan perempuan. Jika para calon warok ini tidak bisa mengekang hawa nafsu untuk berhubungan seksual dengan perempuan, maka lunturlah semua ilmu yang dimilikinya. Akibatnya para warok mengambil anak asuh yang disebut gemblak. Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu anak lelaki belasan tahun usia 12-15 berparas tampan dan terawatyang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayang ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang mengakar pada komunitas reog. Bagi seorang warok hal tersebut wajar dan diterima masyarakat.

Dijaman moderen ini makna gemblak sudah mulai bergeser kearah yang positif. Gemblak saat ini sudah sulit ditemui, tradisi memelihara gemblak saat ini mulai luntur. Gemblak yang dulunya biasa berperan sebagai penari jathil, kini perannya digantikan oleh remaja putrid. Pergeseran nilai gemblak membuat tari jathil semakin berkembang

Alur cerita

Pada awalnya reog tidak mempunyai alur cerita dan bentuk keseniannya menyerupai arak-arakkan, yang berhenti disetiap perempatan jalan sebagai panggungnya. Tidak ada urut-urutan cerita. Reog pada saat itu hanya untuk hobi belaka dan jauh dari komersial. Namun seiring perkembangan jaman, Reog sudah banyak mendapat sentuhan-sentuhan dari seniman-seniman reog lulusan dari sekolah seni. Mereka memberikan gerakan-gerakan yang tertata koreografisnya dan adanya estetika panggung. Disitu ada alur cerita, ada urutan siapa yang tampil lebih dahulu. Urutan yang tampil pertama adalah warok, kemudian jathil, bujangganong, Kelana Sewandana kemudian dadak merak. Jadilah format reog festival seperti saat ini.

Lalu bagaimanakah nasib Reog masa depan?

Ditengah-tengah budaya barat yang terus-terusan merasuk ke bangsa kita, sulit memang mempertahankan kesenian tradisional seperti Reog. Keberadaan reog di masa depan ditentukan generasi muda itu sendiri, bagaimana mereka mau menghargai dan sampai kapan terus melestarikannya di tengah berbagai pengaruh modernitas yang deras menyerbu. Namun pemuda lebih tertarik akan perkembangan budaya dari luar daripada harus melestarikan budaya tradisional adiluhung ini. Kalau hal ini terus dibiarkan, tidak menuntut kemungkinan kejadian pengklaiman Reog sebagai budaya milik negara lain akan terjadi lagi. Atau bahkan reog akan hilang dari bumi tempat asalnya dan tinggal namanya saja. Semua pihak harus berperan mendorong generasi penerus untuk lebih “cinta” terhadap budaya tradisional. Mulai kecil harus ditanamkan sikap untuk terus melestarikan budaya warisan leluhur ini.

dikutip dari berbagai sumber
Read More : Reog Tempoe Dulu Dan Sekarang

Sejarah Ponorogo


Asal usul kata Ponorogo berdasarkan babad legenda berasal dari Pramana Raga . Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan Pono berarti Wasis , Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani yang kemudian menjadi Ponorogo .
Awal mula berdirinya Kadipaten Ponorogo dimulai ketika Raden Katong sampai diwilayah Wengker , kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman yaitu di dusun plampitan Kelurahan Setono Kec.Jenangan.
Siapakah Bethoro Katong ? dari catatan sejarah Ki Padmosusastro generasi 126 menyebutkan Bathoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau
disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe ( selir yang tinggi kedudukannya ) .Bethoro Katong adalah adik lain ibu dengan Raden Patah Setelah menjadi Adipati di Ponorogo bergelar Adipati Bethoro Katong.
Kebesaran Wengker pada jaman Mojopahit ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat didepan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1.418 Saka atau tahun 1.496
M.
Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti Penobatan yang dianggap suci .Atas
dasar bukti peninggalan benda - benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo , pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar , Tahun 1.418 Saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1.496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya melalui seminar hari jadi Kab.Ponorogo yang diselenggarakan pada tgl.30 April 1996 maka penetapan tgl.11 Agustus sebagai Hari Jadi Kab.Ponorogo telah mendapat persetujuan DPRD Kab.Ponorogo .
Sejak berdirinya Kadipaten Ponorogo dibawah Raden Katong , tata pemerintahan menjadi stabil dan pada th.1.837 M Kadipaten Ponorogo pindah dari Kota Lama ke
Kota Tengah menjadi Kabupaten Ponorogo hingga sekarang .

Nama - nama Bupati yang pernah menjabat di Kab.Ponorogo :
R.MUHAMMAD 1951 - 1955
R.MAHMOED 1955 - 1958
RM.HARYOGI 1958 - 1960
R.DASOEKI 1960 - 1967
R.SOEJOSO 1967 - 1968
R.SOEDHONO SOEKIRJO 1968 - 1974
SOEMADI 1974 - 1979
SOEMADI 1979 - 1984
DRS.SOEBARKAH POETRO HADIWIRYO 1984 - 1989
DRS.GATOT SOEMANI 1989 - 1994
PROF.DR.MARKOEM SINGODIMEDJO 1994 - 1999
PROF.DR.MARKOEM SINGODIMEDJO 1999 - 2004
MURYANTO 2004 - 2005
Read More : Sejarah Ponorogo

Antara Gajah Dan Reog


Melacak Masa Silam Kesenian Gajah-gajahan
Gajah gajahan adalah jenis kesenian yang mirip dengan hadroh atau samproh klasik, terutama alat alat musik yang dipakai. Instrument musiknya adalah Jedor, kendang, kentongan, dan kenong. Pada saat pertunjukkan gajah gajahan dimulai, patung gajah tersebut dinaiki oleh seorang bocah kecil, yang umumnya perempuan atau laki laki yang didandani seperti perempuan, sambil diiringi oleh pemusik dibelakangnya. Gajah gajahan bukan sekedar kesenian panggung, tetapi juga sebagai sarana sosialisasi suatu kabar tertentu (misal; pengajian) dari si penghajat kepada masyarakat luas. Saat memerankan fungsi sosialisasi ini, gajah gajahan diarak keliling desa atau beberapa desa disekitarnya. Cara mengarak gajah gajahan dengan berkeliling desa itu, diharapkan akan mengundang perhatian warga untuk mendengarkan pesan pesan yang akan disampaikannya.
Pada hajatan khitanan biasanya, yang naik gajah-gajahan adalah anak kecil yang di sunat. Kini dalam perkembangannya, fungsi ini di geser seperti fungsi jathil pada kesenian reyog. “biar lebih memiliki unsur artistiknya” kata Pamujo. Selain karena Gajah-gajahn tidak memiliki pakem yang tetap pada awalnya, mulai instrument musik, gerak tari, style musiknya bisa saja berubah sesuai perkembangan zaman. “sekarang gajah-gajahan maunya dicampusarikan” Karena figurnya gajah menurut Pamujo, maka akan lebih pas kalau hanya pakai jedor saja. Yang membedakannya dengan Hadrah adalah hadirnya patung gajah yang terbuat dari kertas karton yang dilekatkan oleh kerangka dari bambu.

Dalam ingatan Pamujo, Sesepuh Gajah-gajahan dari Kertosari, dikenal pada sekitar tahun 60-an, di seputaran pesantren Kepuhrubuh Siman. Memang pada awalnya kesenian ini memang tersebar dilingkungan komunitas santri atau daerah seputaran mushola/masjid terutama di daerah-daerah Siman, Mlarak, Jetis. Beberapa pimpinan komunitas gajah-gajahan belum bisa memberi keterangan tentang asal mula kesenian gajah-gajahan ini. Karena dalam komunitas Gajah-gajahan sendiri terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Bonaji, ketua kesenian gajah-gajahan Kradenan Jetis, menjelaskan bahwa seingatnya komunitas gajah-gajahan tertua, pertama kali dikembangkan oleh masyarakat di Wilangan Sambit. Tetapi memang mereka tidak pernah meneyebut tokoh historis tertentu yang menjadi rujukan, berbeda dengan reyog tentunya yang selalu merujuk pada Batoro Katong atau Ki Ageng Kutu.
Hal ini bisa dimengerti, karena kesenian ini memang berkembang atas dasar komunitas dan tidak memiliki tokoh sentral tertentu, selain karena belum ditemukan ada satu pun dokumentasi yang dimiliki tokoh maupun kelompok gajah-gajahan sekarang ini. Namun hampir dapat dipastikan pada awalnya kesenian ini memang dikembangkan oleh komunitas santri. Hal ini terjadi karena setelah marak di awal tahun 1960-an pada sekitar tahun 1980-an mulai surut dan kembali marak di desa-desa pada pertengahan tahun 1990-an. Gajah-gajahan memang diciptakan bukan sebagai kesenian ritual, namun adalah kesenian ‘kelangenan’ selain juga memiliki fungsi merekatkan persaudaraan antar kalangan masyarakat santri.
Kesenian Gajah Gajahan yang di kembangkan kalangan santri saat itu di Ponorogo memang awal mulanya dilatarbelakangi sebuah perebutan kuasa politik, lewat instrumen kebudayaaan (baca; kesenian). Reyog yang saat itu yang telah mendarah daging bagi masyarakat Ponorogo memang menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi rakyat. Maka tak mengherankan jika berbagai kekuatan politik pada tahun 1950 –60 an melirik reyog sebagai instrumen untuk merebut massa. Berbagai organisasi kebudayaan dari partai partai politikpun segera dikerahkan untuk berpacu memenangkan kuasa. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra-nya PKI), Lembaga Kesenian Nasional (LKN-nya PNI), Lembaga Seni – Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi-nya NU), dan Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI-nya Masyumi) adalah lembaga lembaga kebudayaan dari partai politik waktu itu yang berlomba merebut dominasi, khususnya dalam memenangkan kuasa dalam reyog.
Seiring dengan hal itu, suasana kehidupan di Ponorogo diwarnai dengan berbagai ketidaktertiban sosial dan munculnya gangguan keamanan. Belum lagi ditambah berbagai intrik politik yang sangat dominan sebagai determinasi pertarungan politik nasional. Akhirnya pada tahun 1958 Bupati Dasuki, memerintahkan Embah Wo bersama dengan Embah Lurah Welud, dan Embah Rukiman untuk membantu pemerintah menertibkan keadaaan di wilayah ini.
Akhirnya, Embah Wo, Embah Welud, dan Embah Rukiman mengumpulkan segenap orang orang yang menonjol dalam olah kanuragan (istilah Embah Wo; Bolo Ireng) untuk mendapatkan pengarahan dari bupati untuk mendapatkan wewenang guna mengatasi gangguan keamanan di Ponorogo. Setidaknya terdapat 126 bolo ireng yang mendapatkan kepercayaan dari bupati untuk menjadi “polisi daerah”. Sebagai potensi sosial yang strategis, maka bolo ireng pun menjadi incaran dari berbagai kekuatan politik lokal, terutama PKI untuk dijadikan sayap politiknya. Namun, Embah Wo yang saat itu sebagai tetuone bolo ireng menolak kalau barisannya diajak masuk partai politik. Walau pada masa akhirnya toh Embah Wo dan bolo ireng menjadi sayap politik Golkar.
Dilain pihak, persaingan memperebutkan reyogpun segera dimulai, ketika para warok mendirikan Barisan Reyog Ponorogo (BRP) pada tahun 1957. BRP awal mulanya didirikan sebagai sarana perkumpulan reyog dan tak ada sangkut pautnya dengan dinamika politik setempat. Perebutan pucuk pimpinan BRP pun berlangsung ketat tatkala banyak aktivis Lekra, Lesbumi, LKN, dan HSBI memasuki keanggotaan BRP. Tokoh tokoh semacam Paimin (tokoh Lekra dan juga mantan purnawirawan TNI AD yang juga menjadi Lurah Purbosuman) bersaing dengan Marto Jleng (LKN) dan KH Mujab Thohir dari Lesbumi dalam menduduki kursi ketua BRP. Akhirnya kontestasi itu dimenangkan oleh Paimin dari Lekra. Komposisi kepengurusan BRP yang seharusnya disangga bersama dari Lekra, LKN, dan Lesbumi ternyata didominasi oleh kalangan Lekra, sebab Paimin secara otoritatif memasukkan orang orangnya dalam kepengurusan Lekra.
Perpecahan pun membayangi tokoh tokoh kebudayaan yang secara ideologis berbeda haluan politik itu. Dominasi Lekra dalam BRP membuat Marto Jleng dan KH Mujab Thohir tidak lagi mengakui keberadaan BRP sebagai wadah reyog bersama. Puncak dari ketegangan dari “triumvirat” itu adalah saat Marto Jleng dan Mujab Thohir mendirikan bendera reyog tersendiri sebagai usaha untuk mendelegitimasi BRP sebagai perkumpulan reyog bersama. Marto Jleng akhirnya mendirikan Barisan Reyog Nasional (BREN) dan KH Mujab Thohir mendidikan Kesenian Reyog Islam (KRIS) lantas mendirikan lagi Cabang Kesenian Reyog Agama (CAKRA).
Seperti yang dituturkan oleh Embah Wo, keberadaan BREN, KRIS, maupun CAKRA masih belum bisa menyaingi dominasi BRP dalam memperebutkan massa. Walau banyak anggota anggota BPR yang tidak mengerti tentang komunisme, namun mereka sangat kuat dipengaruhi oleh elit elit BRP. Kemampuan BRP menggalang massa bahkan hingga setiap desa diseluruh Ponorogo. Jadi dapat dipastikan bahwa setiap desa memiliki grup reyog yang berafiliasi dengan BRP. Akibat dominasi inilah sebagian kalangan non komunis, terutama kalangan santri menuduh bahwa reyog itu haram karena reyog itu identik dengan komunis, terutama selepas peristiwa G 30 S tahun 1965. Karena tidak mampu mengungguli kekuatan BRP itu, akhirnya kalangan santri dari Jetis membuat kesenian alternatif, yakni Gajah gajahan, terutama selepas peristiwa G 30 S tahun 1965.
Jetis, Mlarak dan Siman pada masa tahun 50 an sampai 60 an merupakan basis dari Masyumi dan sebagian lagi NU. Didaerah ini pula Pondok Pesantren Gontor yang memiliki pengaruh kuat disekitar wilayahnya menyebarkan syi’ar Islam. Praktis, kemunculan Gajah gajahan yang merupakan kesenian beridentitas Islamis benar benar mendapatkan tempat didaerah ini. Dalam ingatan Pamujo, Ketua paguyuban Gajah Gajahan Anggoro Sakti dari Kertosari menyatakan bahwa kesenian ini muncul sesudah tahun 1965. Kesenian yang khusus keberadaannya dari Ponorogo semata ini tampil dengan mengandalkan alat musik dari jedor, kendhang dan kompang. “Pada akhir tahun 60-an memang antara seniman reyog dengan gajah gajahan tak bisa akur”, ungkap Pamujo. Namun Pamujo sendiri tak mengetahui mengapa ada perseteruan antara seniman gajah gajahan dengan reyog saat itu. Dan pada masa kecil Pamujo, ketua paguyuban gajah gajahan Kertosari, Ponorogo ini menyatakan bahwa gajah gajahan pertama kali muncul dari Pohrubuh yang pandegani oleh (alm). Pak Tulus pada tahun 1960-an.
Sementara KH Sugianto Hasanudin, Ketua STAIN Ponorogo, yaang juga saksi sejarah munculnya gajah gajahan di era tahun 60-an menyatakan bahwa “Gajah gajahan itu sebagai usaha kalangan santri, terutama para santri di Pondok Gontor untuk membuat kesenian yang lebih Islami, sebab pada saat itu kalangan santri mempersepsi bahwa reyog yang dikuasai oleh komunis tidak lagi mencerminkan nilai nilai Islami. Dilain pihak munculnya reyog CAKRA yang dibidani oleh Embah Mujab, nampaknya tidak bisa mewakili kebudayaan Islam, maka munculah gajah gajahan itu”.
Senada dengan KH Sugianto, tokoh lain seperti Kyai Suhanto (mantan Pengurus Tanfidyah NU Ponorogo) ini memberikan penilaian bahwa gajah gajahan sebagai usaha membangkitkan lagi kesenian para santri, melihat realitas reyog yang dikuasai komunis, bahkan sebagian santri dan kyai menyatakan haram keberadaannya. Gajah gajahan bagian upaya dari para ulama untuk menyalurkan bakat seni kaum santri. “Reyog dikatakan haram oleh sebagian ulama karena dilihat dari peralatan yang dipakai misalnya pakai kulit macan dan kalau kita lihat dari legendanya itu berasal dari kesenian Budha. Walaupun toh kalangan santri memiliki reyog CAKRA saya toh tak ada bedanya dengan BRP-nya Komunis, dan bisa jadi reyog CAKRA juga tak bisa menghindarkan diri dari minuman keras. Ditambah lagi, kebijakan yang selektif bagi pertunjukkan reyog (CAKRA) yang dikenakan kepada PPP oleh penguasa orde baru waktu itu. Reyog reyog santri dibawah naungan PPP waktu itu banyak yang dilarang tampil oleh aparat desa bahkan kecamatan. Itulah yang menjadi latar belakang kaum santri tak memakai reyog lantas mendidirikan kesenian baru”, imbuh Kyai Suhanto.
Kyai Suhanto melihat bahwa keberadaan reyog pada tahun 60 an lebih cenderung menjadi alat politisasi komunis dari pada sebagai media kesenian. Hal inilah menjadi alasan munculnya gajah gajahan. Mengapa mengambil bentuk gajah? Kyai yang tinggal di Jetis ini mengungkapkan bahwa dalam kesenian itu hendak memberikan pesan kepada kelompok kesenian lain, bahwa kaum santri telah hadir dengan pasukan gajahnya dan setiap saat bisa menggulung atau melumat harimau (baca; reyog).
Kesenian gajah gajahan oleh KH Sugianto Hasanudin, menurutnya awal awalnya diprakarsai oleh para santri di Pondok Gontor itu sebenarnya mengambil inspirasi dari musik ojrot yang populer pada tahun 1950-an. “Setelah gajah gajahan muncul pada sekitar tahun 1968, musik ojrot seakan akan lenyap, sebab baik lagu maupun beberapa alat musiknya sudah diboyong pada kesenian baru yang bernama gajah gajahan itu”, imbuh kyai nyentrik ini.
Saat ditanya, mengapa para santri pada saat itu memvisualisasikan gajah dalam bentuk fisik didalam kesenian ini? Kyai dari Pondok Jenes ini mengungkapkan karena gajah merupakan binatang yang juga dapat menjadi raja hutan, dari segi fisik dapat mengungguli ketangguhan harimau yang dianggap sebagai icon dalam reyog. Lantas, kyai NU ini menjelaskan bahwa simbolisasi hewan hewan besar dalam kesenian itu mencerminkan konteks pertarungan politik pada era itu antara reyog yang telah digenggam oleh PKI melalui BRP-nya dan kaum santri lewat gajah gajahan itu. Dalam pengakuan KH Sugianto Hasanuddin, bahwa gajah gajahan memang dimunculkan oleh kalangan Islam yang dalam pemahaman keagamaannya benar benar fanatik. Hal ini tercermin dalam lirik lirik lagu yang sering dinyanyikan pada tahun tahun 1960-an. Namun kesenian gajah gajahan benar benar dalam rengkuhan kalangan santri itu tak berlangsung lama. Saya lihat pada tahun 1970 an akhir, gajah gajah sudah tiarap. Lantas tiba tiba pada tahun 1990 an muncul kembali dan telah berubah seperti sekarang ini.
Kenapa gajah gajahan tiarap pada akhir tahun 70 an? KH Sugianto Hasanuddin menguraikan bahwa gajah gajahan tidak memiliki akar sejarah yang kuat dikalangan umat Islam, gajah gajahan masih kalah mengakar dengan hadroh maupun samproh. Akibatnya kalangan santri secara luas lebih tertarik mengembangkan hadroh dan samproh daripada gajah gajahan. Perkembangan hadroh dan samproh lebih pesat waktu itu, ini terbukti hampir setiap desa memiliki kelompok musik ini. Jadi munculnya gajah gajahan waktu itu lebih cenderung politis bukan semata mata kreasi kebudayaan yang murni. Dan terbukti, pada masa masa kampanye pemilu tahun 1971 dan 1977 gajah gajahan menjadi magnet yang menyedot massa bagi kampanye partai partai Islam waktu itu. Berbeda dengan tradisi musik ojrot, samproh, dan hadroh yang hanya mengisi ruang non politis seperti mantenan, khitanan, ataupun Mauludan.
Sebagai kesenian yang lekat dengan identitas kesantrian pada awalnya kesenian ini sering dikaitkan dengan cerita-cerita Islam. “Adalah KH Mujab Thohir (almarhum), yang pada waktu awal lahirnya gajah-gajahan sering mengkaitkan kreasi kesenian ini dengan dengan sebuah cerita penyerangan pasukan Gajah Yaman yang di pimpin Pasukan Abrahah terhadap Makkah.” Demikian tutur Pamujo. KH Mujab Thohir adalah juga salah satu tokoh reyog dari kalangan santri pada masa hidupnya.
Sebagai kesenian yang memang dibidani oleh kalangan santri, terutama pada awal awal dipopulerkan, gajah gajahan memang sangat selektif terhadap format tontotan, lagu, dan alat alat musik yang dipakai. Tak heran jika kemudian kesenian gajah gajahan hanya mengisi forum forum tertentu seperti diatas.sejak awalnya Gajah gajahan menyatakan bahwa gajah gajahan memang tidak dipergunakan sebagai kesenian umum seperti saat ini, tetapi kesenian Islam yang secara khusus dipergunakan kaum santri waktu itu sebagai sarana dakwah Islam dan propaganda politik partai partai Islam. Karena sebagai kesenian yang spesial dan hanya mengisi momen momen tertentu, maka pertunjukkan gajah gajahan temponya sangat singkat.
Namun, kini kesenian gajah gajahan telah berada dalam pangkuan khalayak luas Ponorogo, Entah siapa yang memulai? Agaknya semua orang yang tertarik dengan kesenian ini mulai mengembangkan dan merekreasinya. Gajah gajahan tidak lagi menjadi “milik” kaum santri, bahkan komunitas abangan yang rata rata juga menjadi pemusik pada kesenian reyog dengan getol pula membaur dengan gajah gajahan. Saking begitu familiar-nya konco reyog juga mulai membawa kebiasaan pada saat reyogan dalam lingkungan gajah gajahan. “Bagi kalangan gajah gajahan lama yang belum terbiasa dengan kebiasaan kebiasaan konco konco reyog memang awal awalnya terkaget kaget, namun lama kelamaan meraka juga bisa membaur”, ungkap Pamujo (Ketua Paguyuban Gajah Gajahan Anggoro Sakti dari Kertosari) saat ditanya mengenai suasana yang terjadi saat konco konco reyog menyapa kesenian gajah gajahan.
Kini gajah gajahan telah menjadi milik masyarakat luas Ponorogo, seperti yang dituturkan oleh Embah Wo Kucing, sesepuh kelompok reyog INTI, “Sholawatan itu bukan hanya sering dilakukan oleh kaum santri semata, sholawatan itu sudah umum, jadi kalau gajah gajahan dikatakan milik kaum santri kok tidak tepat. Gajah gajahan itu ya milik rakyat, wong pada umumnya yang memiliki itu desa kok. Menurut saya, gajah gajahan itu mengambil cerita dari Keraton Solo. Sebab Keraton Solo itu kan kalau melakukan upacara kirab dulu itu kan menggunakan gajah.” ujar Embah Wo.

Problema Kekinian Kesenian Gajah-gajahan

Suatu ketika saat gajah-Gajahan Kradenan mendapatkan kesempatan berpentas bersama bersama kelompok reyog Cokromenggalan pimpinan Warok Tobron, menghadiri undangan pentas ke Magetan pada hajatan seorang pengusaha disana. Saat itu Gajah-gajahan mampu mengundang antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi meramaikannya dengan cara menari dan bernyanyi, akhirnya reyog hampir tidak jadi pentas karena penonton habis ikut joget gajah-gajahan. Demikian sebagaimana yang diceritakan Bonaji.
Pandangan serupa di ungkapkan Pamujo “Kalau ada kampanye terus mengundang Gajah dan reog itu sangat ramai. Gajah dan reog itu tidak bisa dicampur, karena bunyi kempul dan bunyi jedor itu kalah, reognya kalah. Kemudian timbul perasaan tidak enak antara gajah dan reog. Sehingga kalau ada kampanye seperti itu tempatnya harus dipisah.”
Gajah-gajahan memiliki perbedaan mendasar dengan reyog, selain perbedaan bentuk fisik keseniannya. Antara lain pertama, pada awalnya reyog, masih memiliki dimensi ritual, seperti adanya daya magis dalam kesenian reyog, sementara gajah-gajahan adalah kesenian yang diciptakan untuk hiburan, media penyebaran informasi dan tentu sebagai tempat berkumpul bersama. Atau dalam bahasa Pamujo adalah kesenian ‘lingkungan’.
Kedua, Sebagian juga karena faktor modal. Membeli peralatan kesenian paling banyak hanya separohnya dibandingkan membeli peralatan reyog. “ Dulu, daerah kidul Sumpil ada sekitar dua RT pemuda. Mereka setuju untuk membikin kesenian gajah-gajahan dengan mengumpulkan dana seikhlasnya. Rata-rata Rp. 5.000, ada yang 7.500 dan ada yang 10.000. Kemudian dibelikan perangkat gajah-gajahan dan dimainkan oleh lingkungan itu saja. Tampak para pemuda sangat bersemangat. Kalau diundang orang uangnya dikumpulkan, kalau pakaian gajahnya rusak dibelikan. Hanya seperti itu jarang ada dana dari fihak lain.” Demikian ungkap Pak Pamujo.
Selain memang bagi khalayak masyarakat Ponorogo, mengundang gajah untuk pentas merupakan pilihan murah dan meriah. Bagaimana tidak dengan dana sekitar 500 ribu saja orang sudah bisa mementaskan gajah-gajahan. “tahun 1990 sampai 2000 biasanya Rp. 500.000 ribu sekarang sekitar Rp. 800.000. bandingkan dengan reyog yang bisa sampai biaya 2 juta untuk mengundang sekali main”
Dalam hal mencermati perkembangan zaman, gajah-gajahan kelihatannya masih punya masa depan. Ini bisa di lihat dari fleksibilitas kesenian ini. “ Semua lagu dangdut bagi yang mahir juga bisa masuk. Lagu campur sari juga bisa, tergantung yang nyanyi. Di gajah-gajahan itu tidak ada not, jadi orang yang nyanyi di gajah-gajahan itu yang penting pas dengan gong. Fleksibilitas gajah-gajahan yang bisa mengadopsi jenis musik apapun, dengan tarian yang mudah di ikuti.” Demikian ungkap Bonaji.
Hal serupa di ungkapkan Pamujo, “ Lagunya itu macam-macam, lagu anak-anak juga pas, musik pakai jedor itu mudah saja. Asal akhir katanya sesuai dengan jedor itu ya pas. Begini contohnya :

iki lho mas gajahe wis teko
Yo gek enggal nyeluk konco-konco
Gajahe biso mlaku dhewe
Ngrenggenuk yo gajahe
Diiring mubeng desone
Ayo dipepetri seni gajah model saiki
Pancen gagah yen pinuju nunggang gajah
Katone do gembiro sebab gajahe wis teko
Nanging ojo nganti lali keselametane.

Namun satu hal yang menjadi masalah yang sulit mereka hindari, sejak reyog di angkat menjadi satu-satunya identitas kesenian Ponorogo. Segala energi telah dikerahkan untuk itu. Banyaknya anggaran pemerintah (APBD) dan gelontoran rupiah dari sponsor nasional, pun akses politik dan posisi sosial nampaknya lebih berpihak pada komunitas kesenian tertentu saja. PEMKAB Ponorogo menganggarkan hampir 1 milliar dari APBD Ponorogo (pada tahun 2004) untuk momen festifal reyog mini dan juga reyog nasional, dan belum lagi bentuk pembinaan dan pengambangannya melalui institusi pendidikan formal yang juga mendapatkan perhatian yang sangat besar.
Masalah-masalah yang dihadapi kesenian gajah-gajahan antara lain
Pertama, belum adanya pementasan rutin dan bersifat massal Gajah-gajahan. Sebagai kesenian yang mengakar kuat di sebagian masyarakat Ponorogo, Gajah-gajahan belumlah mendapatkan posisi yang sewajarnya dimata pemerintah maupun publik/pasar. Terutama dalam kaitan, mendapatkan ruang publik yang setara. Terutama pada momentum paling penting dan bersejarah bagi Ponorogo, misalnya saat Grebeg Suro. Atau pada momentum resmi seperti Malam Pagelaran Seni Bulan Purnama, sebuah agenda rutin DInas Pariwisata Seni dan Budaya. Walaupun demikian dalam kenyataannya masyarakat sendiri, sesungguhnya menyediakan ruang pementasan bagi Gajah-gajahan dalam momentum hajatan keluarga, atau hajatan desa semisal peresmian jalan.
Namun keinginan kuat kelompok gajah-gajahan untuk mendapatkan kesempatan tampil dihadapan publik dalam acara-acara sacral seperti Grebeg Suro sangatlah kuat. Di masa awal Bupati Markum, gajah-gajahan pernah mendapatkan kesempatan mementaskan keseniannya sekali pada tahun 1995 pada momen Grebeg Suro. “ Tahun 1996 pak Markum mendatangkan gajah asli, dan kemudian terjadi kecelakaan menginjak penonton sehingga membawa korban tewas. Setelah itu gajah-gajahan, seakan di tinggalkan, dan tidak pernah hadir kembali dalam pentas dalam moment paling bersejarah bagi masyarakat Ponorogo sampai saat ini. Enam tahun yang lalu setiap desa mungkin ada, sekarang alatnya saja sudah tidak ada. Sudah banyak yang dijual dengan alasan pelakunya tidak ada.” Pamujo menyesalkan perlakuan diskriminatif yang dialami Gajah-gajahan.
“Sepertinya setiap kelompok Gajah-gajahan tidak punya keinginan agar gajah-gajahan bisa seperti reog. Kalau Reog kan memang sudah tua, sudah ratusan tahun, sedangkan gajah-gajahan tergolong muda. Jadi tidak ada keinginan untuk bisa ngremboko, seperti Reog. Hanya kalau digalakkan oleh Pemerintah seperti reog mungkin bisa juga. Tapi kalau dibiarkan oleh Pemerintah ya akan berjalan apa adanya.” lanjutnya
Kedua, adalah masalah stigma negatif, tentang tuduhan kesenian dekat dengan minuman keras. Kesenian ini dipersepsi tidak berbeda dengan kesenian tradisi lainnya, yang tidak lepas dari minuman keras. Hal ini terungkap dalam pandangan seorang warga Coper Jetis, sebuah daerah dengan beberapa pesantren besar di timur Ponorogo. Ia mengungkapkan:

“ Saya sangat suka Kesenian gajah-gajahan, namun rata-rata kesenian gajah-gajahan sering disalah gunakan. Yang saya tahu gajah-gajahan itu lagu-lagunya lagu-lagu Islami. Jarang yang pakai lagu-lagu dangdut atau pop.

…Lagu-lagunya sangat bernuansa Islami. Tapi penari dan pengunjungnya memakai minuman keras. Itu yang saya sayangkan. Jadi kalau Gajah-gajahan mau di lestarikan jangan seperti itu, lucu, lagu-lagunya Islami yang menari mabuk semua, teler semua. Kira-kira ini bertentangan dengan agama”

Mengapa Gajah-gajahan mendapatkan apresiasi positif dari kalangan santri di masa masa awal kelahirannya? Salah satunya adalah karena keberaniannya membersihkan unsur-unsur amoral terutama miuman keras dan terkesan liar dari kesenian gajah-gajahan. Bagaimanapun tidak bisa dipungkiri kesenian yang banyak digandrungi masyarakat Ponorogo adalah reyog, namun menurut Bonaji unsur minuman keras dalam reyog selalu sulit di hindari.
Hal ini di ungkapkan oleh Bonaji, ketua Gajah-gajahan Kradenan, yang juga adalah mantan jathil reyog ini, yang mengatakan bahwa :

“ hampir dapat dipastikan bahwa komunitas reyog tidak bisa lepas dari minuman keras, itu yang membuat saya kecewa dan lebih memilih mengembangkan gajah (-gajahan-red).kekecewaan saya bertambah dengan pergantian jathil menjadi perempuan, saya sudah memprediksi bahwa kaderisasi reyog bakal terganggu. Karena jathil perempuan kalau sudah menikah, tidak bisa aktif di reyog. Sekarang saja, surutnya perkembangan reyog di desa-desa sekitar saya mulai terasa.

…di dalam kesenian yang saya pimpin, larangan terhadap minuman keras adalah harga mati. Dan gajah-gajahan, lebih cocok bagi daerah kami yang merupakan daerah santri.”

Pamujo memberikan pendapatnya berkait hal ini. “ …Gajah gajahan, dari segi simbol binatang Gajah yang di jadikan salah satu instrumentnya, sudah menunjukkan bahwa Gajah adalah binatang yang mudah di tundukkan, santun serta banyak membantu pekerjaan manusia” demikian ungkap Pamujo menegaskan bahwa komunitas kesenian gajah-gajahan itu mudah dikendalikan, termasuk dalam kaitannya dengan minuman keras. Walaupun dalam kenyataannya hal ini sulit di hindari.
Walau begitu, Pamujo tidak begitu mengkhawatirkan sebab banyak juga ta’mir masjid lainnnya yang berkenan mengundang gajah gajahan miliknya. “Sekarang ini lho Mas, pelaku seni terkecuali hadroh lo Mas, pasti berbau miras, walaupun toh harus sembunyi sembunyi. Saya ambil contoh saja, sewaktu pertunjukkan gajah gajahan di Ngrambang, daerah dengan lingkungan santri yang kental, dan pertunjukkan itu dilakukan oleh pondok, kok masih saja ada yang minum walau minumnya dari rumah. Jadi kalau kesenian disini diharuskan mengikuti perilaku seperti di Arab sana, atau seperti Nabi pasti akan repot sebab pasti tidak akan dapat campur dengan masyarakat (baca; adat lokal). Kalau semuanya diharuskan seperti Arab apa bisa kalau dilakukan dilingkungan kita, itulah sebabnya gajah gajahan itu juga harus bisa srawung (baca; interaksi) dengan lingkungan kita, jangan membawa lingkungan lain ke lingkungan kita. Gajah gajahan saat ini di Ponorogo telah menjadi milik masyarakat luas ”, imbuhnya.
Stigma gajah-gajahan dekat dengan minuman keras ini menurut Pamujo, sering juga karena faktor persaingan antar kesenian. “saya punya gajah-gajahan, anda juga punya kelompok kesenian, terus untuk menurunkan citra yang lain anda membawa minuman keras.” Pamujo menjelaskan asal muasal stigma bahwa gajah-gajahan sekarang sudah banyak di cemari oleh minuman keras..
Bonaji juga mempunyai pandangan yang serupa, “ kelompok saya pernah di undang ke Sambit, sang tuan rumah pada awalnya menawarkan untuk menyediakan minuman kesenangan anak muda (baca: Miras-ed), akhirnya saat pentas sebagian besar akhirnya juga mabuk-mabukan. Kalau sudah seperti ini habis citra kesenian. Saya bingung setelah pentas itu, menjawab pertanyaan orang: kok gajah – gajahan mu sekarang pada minum bagaimana to?”
Ketiga, konflik politik desa yang melibatkan kelompok kesenian, Faktor lain yang menghantui gajah-gajahan adalah faktor politik lokal desa dimana gajah-gajahan itu ada. Namun. Di beberapa tempat Gajah-gajahan mati karena sering menjadi ajang perebutan massa, dalam pemilihan kepala desa. Hal ini terjadi berkali-kali, dibanyak tempat. Bonaji mengungkapkan :

“ misalnya jika sebuah kelompok Gajah-gajahan di arahkan memilih calon tertentu, sehingga jika ada calon lain yang akhirnya jadi Gajah-gajahan akan di tinggalkan. Oleh karena itu, saya lebih senang Gajah-gajahan tidak di buat atas nama kelompok, karena rawan di salah gunakan. Saya lebih senang gajah itu milik desa, sehingga siapapun yang jadi lurah, gajah-gajahan tetap ngremboko(baga: berkembang-ed)”

Namun untuk momentum politik yang lebih besar misalnya PEMILU, atau PILKADA, malah menjadi kesempatan yang luar biasa bagi kelompok kesenian Gajah-gajahan untuk menunjukkan kebolehannya. “gajah-gajahan sangat laku kalau musim kampanye. Kalau ada kampanye terus mengundang Gajah. Tapi khusus lagunya kita mengikut yang mengundang. Kalau yang mengundang PKB kita bikin syair-syair tentang PKB. Kalau PDI demikian juga. Saya paling suka tampil untuk kampanye.” Pamujo menganggap politik, bahkan menyediakan peluang besar bagi kelompok kesenian tradisional, selama bisa menjaga netralitasnya. “Seniman harus bisa hidup dimanapun”
Keempat, belum adanya tempat berembug bersama bagi kesenian gajah-gajahan. Sesuai dengan penuturan Pamujo, sampai saat ini belum ada pertemuan rutin, atau paguyuban yang menjadi ruang berdiskusi bagi komunitas kesenian gajah-gajahan. Mereka hanya menjalin komunikasi dengan saling berkunjung secara kekeluargaan, saat pementasan atau di luar pentas. “Misalnya, jika gajah-gajahan di Mlarak sedang main, saya usahakan hadir, untuk ikut meramaikan dengan menyanyi” jelas Pamujo. Hal senada juga di tuturkan Bonaji “kita juga saling mengunjungi seperti layaknya saudara mas, jika ada kesempatan”. Namun komunikasi secara rutin memang belum pernah di lakukan.
Karena hal itu, di beberapa tempat menurut Pamujo, beberapa kelompok kesenian Gajah-gajahan, mengalami masalah pada ketiadaan pelakunya. Karena antar kelompok Gajah-gajahan belum salaing mendiskusikan masalahnya masing-masing. “sekarang saja sudah hampir tidak ada. Lima tahun yang lalu setiap desa mungkin ada, sekarang alatnya saja sudah tidak ada. Sudah banyak yang dijual dengan alasan pelakunya tidak ada.” namun melihat dari tradisi yang berlangsung dalam Gajah-gajahan, persoalan ini sangat mungkin diakibatkan kurangnya keseringan berpentas, yang berakibat pada minimnya kaderisasi.
Read More : Antara Gajah Dan Reog

Jeruk Keprok Pulung Jadi Favorit


Satu petak tanah kering milik Sutaji (29) di lereng Gunung Wilis termasuk tanah marjinal dan kritis. Letaknya di punggung bukit, diapit jurang yang dalamnya sekitar 50 meter. Tempat ini hanya sekitar satu kilometer arah ke bawah dari Danau Ngebel yang legendaris itu.
.............................


Singkong pun sulit hidup dengan baik. Sekali tanam paling banter cuma menghasilkan dua keranjang singkong yang nilainya tidak lebih dari Rp 20.000.

Namun, tanah yang kini ditumbuhi 140 pohon jeruk keprok pulung berusia enam tahun itu mampu mengangkat nasib Sutaji. Selama dua tahun (2003-2004) jeruk itu bisa menghasilkan Rp 25 juta. Pedagang yang menjual jeruk itu ke Kota Surabaya atau Jakarta bisa memperoleh untung 30-50 persen dari harga di atas.

"Tahun ini saya harapkan hasilnya lebih besar," kata Sutaji didampingi Ketua Kelompok Tani Dusun Semambu, Desa Jenangan, Teguh (30). Di dusun yang terletak sekitar 20 kilometer arah timur Kota Ponorogo, Jawa Timur, ini terdapat 67 petani jeruk dengan luas areal tanam sekitar 10 hektar. Di atasnya tumbuh subur lebih dari 15.000 pohon keprok pulung.

Baik Teguh maupun Sutaji mengakui, sampai tahun 1980-an makanan pokok penduduk daerah itu adalah tiwul. Ubi kayu yang dikeringkan dijadikan tepung lalu dimasak. Tetapi sekarang, hampir semua penduduk sudah bisa makan nasi.

"Sebagian ekonominya meningkat karena kerja di luar negeri. Sebagian lainnya karena tanaman jeruk," tutur Tajib (34), pembina petani dalam budidaya jeruk keprok pulung.

Sutaji malahan sudah bisa memperluas kebunnya dengan 175 pohon jeruk yang kini berusia tiga tahun dan mulai berbuah. Juga membeli sepeda motor untuk alat transportasi sehari-hari.

Keprok pulung terbukti telah mampu memperbaiki ekonomi petani Semambu. Juga membuat tanah-tanah kritis menjadi produktif, sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Sayangnya, Pemkab Ponorogo belum memberikan dukungan, apalagi bantuan dan fasilitas.

Kisah Sutaji lain dengan Hariyanto (42), Ketua Kelompok Tani Srimulyo di Desa Bedrug, Kecamatan Pulung. Ayah dua anak ini pada 1985/1986 "dimusuhi" aparat pemerintah dan penyuluh pertanian karena tak mau membabat tanaman jeruknya.

Saat itu terjadi gerakan massal untuk memusnahkan tanaman jeruk akibat serangan virus CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration). Hariyanto tetap mempertahankan sekitar 340 pohon keprok pulung miliknya. Dan tanaman itu kini sudah berusia lebih dari 20 tahun, dalam keadaan sehat dan segar.

Bahkan pada musim panen Mei 2005, ada pohon yang bisa menghasilkan lebih dari 1.000 buah. Jika rata-rata delapan buah jeruk beratnya mencapai satu kilogram, berarti satu pohon menghasilkan 1,25 kuintal. Jika harga pasaran rata-rata Rp 3.500 per kg, nilai buah dari satu pohon jeruk itu lebih dari Rp 400.000. Kedengarannya fantastis, tetapi itu kenyataan.

Di lokasi itu Hariyanto masih memiliki 250 pohon keprok pulung. Tahun ini rata-rata tiap pohon menghasilkan 41,5 kilogram sehingga produksi seluruhnya sekitar 10,4 ton. Dalam bentuk uang mencapai lebih dari Rp 36 juta. Suatu jumlah yang sangat besar untuk desa yang terletak 10 kilometer arah timur kota Kecamatan Pulung itu.

Kisah-kisah sukses petani keprok pulung di Ponorogo masih bisa disusun berderet-deret. Dan deretan itu akan semakin panjang bila ditambah dengan sukses yang dialami petani keprok siem.

Menurut catatan Tajib, tahun 2005 ini di seluruh wilayah Ponorogo terdapat sekitar 1.000 hektar tanaman keprok pulung dan 1.200 hektar keprok siem.

"Tiap tahunnya tanaman jeruk di sini bertambah sekitar 50 hektar," ujar Tajib yang tahun 2005 masuk dalam nominasi "pelaku agribisnis" untuk tingkat Jatim. Ditambahkan, sebagian areal baru ditanam di sawah dan menggusur areal tanaman pangan.

Daya tarik tanaman jeruk terletak pada keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanaman padi dan palawija. Paling sedikit tiga kali lipatnya, bahkan ada yang sampai 10 kali lipat.

Pengalaman Kepala Desa Paringan Setyo Tri Harianto (41), satu petak sawah (1.400 meter persegi) jika ditanami padi-palawija menghasilkan sekitar Rp 2 juta per tahun. Namun, tanaman jeruk bisa mencapai hasil sampai Rp 10 juta setahun.

Di Ponorogo juga tidak ada pasar khusus untuk jeruk. Pedagang eceran terdapat di pasar-pasar umum, pinggiran jalan, serta pasar buah di Jalan Gajah Mada. Sedangkan pasar keprok pulung untuk partai besar ada di pertigaan Pulung.

"Selama ini pemerintah tidak memerhatikan petani," tegas Tikno Riyanto (45), Ketua Kelompok Tani Tunas Muda Desa Serag, Kecamatan Pulung.

Jika kejayaan keprok pulung ingin dibangkitkan kembali memang diperlukan perhatian, bimbingan, dan bantuan yang memadai dari Pemkab Ponorogo.
Read More : Jeruk Keprok Pulung Jadi Favorit

GREBEG SURO 2009 PONOROGO


Ponorogo - Pesta budaya Grebeg Suro mulai digeber. Berbagai kegiatan yang menjadi agenda tahunan pemkab akan digelar selama sebulan penuh. Diantaranya Festival Reyog Nasional (FRN) yang menjadi ajang olah seni Reyog tingkat Nasional. Selain itu, ada pula berbagai kesenian dan budaya yang memberikan hiburan masyarakat. “Grebeg itu bukan hanya sekedar pesta budaya, tapi sebuah ritual yang sarat akan makna,” Terang Luhur Karsanto Setda Pemkab. Ponorogo kemarin.

Sebagai pembuka rangkaian Grebeg, telah digelar berbagai kegiatan. Seperti simaan Al-Quran dan istigosah yang diikuti ribuan tokoh dan masyarakat. Acara yang bernuansa religi tersebut digelar du Pendopo Pemkab. “Religiusitas menjadi hal utama bagi Pemkab dalam menjalankan setiap kegiatan,” Ujarnya.

Selain Nuasa Religis, nuansa budaya telah mewarnai pembukaan Grebeg. Yakni dengan dicatatkannya Tari Reyog Massal dari Ponorogo dalam museum Rekor Indonesia (MURI). Tari yang melibatkan guru dan Siswa TK/Rabata itu diikuti sekitar 19000 peserta. “Tari massal itu hanya menjadi pemanasan pesta budaya dalam grebeg, masih banyak yang lebih seru dan menarik,” katanya sambil Promosi.


Dalam grebeg mendatang,juga digelar Kirab, Pemilihan Duta Wisata Kakang Senduk, acara Larung Risalah Do’a. sementara, ribuan pedagang kecil produk asli Ponorogo juga akan mewarnai Grebeg di Alon-alon. Berbagai produk lokal dipajang dalam kegiatan selama bulan Suro itu. “Kami berharap, kegiatan itu bisa menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat. Khususnya pengusaha lokal,” tanda pria yang sangat dekat dengan para kuli tinta itu.

Perayaan Grebeg Suro 2009 dan Festival Reyog Nasionall XVI merupakan kegiatan rutin yang bertujuan melestarikan nilai-nilai luhur budayabangsa, yakni kekhasan dan keaslian Reyog yang menjadi seni asli Ponorogo. Dengan digear festival tahunan, diharapkan seluruh anak bangsa dan manca Negara memahami bahwa Reyog merupakan kesenian asli Ponorogo.
“meski Reyog kini telah menyebar ke berbagai belahan dunia, aslinya berasal dari Ponorogo. Sehingga perlu digelar Festival di daerah asalnya itu, yakni Ponorogo. Sehingga tidak akan ada lagi klaim atau pencaplokan dari daerah atau Negara lain.” Paparnya.


Lantaran Grebeg Suro merupakan ajang Nasional, pihaknya mampu menarik wisatawan dari luar kota untuk datang ke Ponorogo. Tak hanya itu, juga seniman dari mancanegara agar melihat secara langsung asal mula kesenian reyog. Sasaran yang akan dicapai dalam pelaksanaan Grebeg Suro 20009 dan Festival reyog Nasional XVI yaitu, memelihara nilai-nilai religious yang berkembang di tengah Masyarakat Kabupaten POnorogo dalam menyambut Tahun Baru Jawa 1 Suro serta mengembangkan pelestarian seni budaya tradisional khas Ponorogo.

Kepanitian Grebeg Suro 2009 dan Festival Reyog Nasional XVI ini langsung dipimpin Sekretaris Daerah Kabupaten POnorogo, yang bertindak selaku ketua Umum dan Kepala Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Ponorogo selaku, Ketua Harian yang dibantu oleh koordinator yang mengkoordinasikan 12 bidang kegiatan. Mengingat besarnya misi yang diemban dan luasnya lingkup kegiatan kepanitiaan ini selain melibatkan Dinas Pariwisata dan Seni Budaya sebagai instansi teknis, juga Dinas dan instansi lain diingkup pemerintah daerah seta tokoh-tokoh masyarakat yang kompeten dalam bidangnya. (Kepala Bagian Humas dan Protokol Setda Kabupaten Ponorogo - Heru Purwanto, SH)
Read More : GREBEG SURO 2009 PONOROGO

TINGGALKAN JEJAK ANDA


ShoutMix chat widget

280 Px

  © Blogger templates The Transformers by Blog Tips And Trick 2009