Reog Tempoe Dulu Dan Sekarang
Sebentar lagi pergantian tahun dalam penanggalan Islam akan segera datang. Untuk menyambut kedatangannya banyak masyarakat Muslim yang merayakannya. Di berbagai daerah diselenggarakan acara-acara untuk memperingati 1 Muharam dalam penanggalan Islam yang sekaligus bertepatan dengan 1 Suro dalam penanggalan Jawa. Salah satunya di Kabupaten Ponorogo. Untuk menyambut pergantian tahun Islam dan pergantian tahun Jawa ini, pemerintah Kabupaten Ponorogo selalu menggelar acara rutin yaitu Grebeg Suro. Di dalam rangkaian acara Grebeg Suro terdapat even bertaraf Nasional, yaitu Festival Reog Nasional. Festival ini bertujuan untuk menjaga kelestarian kesenian Reog Ponorogo dan menunjukan bahwa Ponorogo merupakan Bumi Reog. Tempat dimana kesenian adiluhung ini berasal. Ponorogo yang dulunya merupakan tanah Wengker memang diyakini sebagai tempat Reog lahir. Hal ini didasari warisan cerita turun temurun tentang asal usul Reog. Ada berbagai versi cerita tentang asal usul Reog
Yang pertama versi Bantarangin. Bantarangin merupakan kerajaan yang ada di Ponorogo yang dipimpin seorang raja bernama Prabu Kelana Sewandana. Menurut versi ini, asal mula reog ketika Prabu Kelana Sewandana berkelana mencari pendamping hidup yang ditemani oleh pasukan berkuda dan patihnya yang setia, Bujangganong. Pilihan sang prabu jatuh ke gadis putri raja Kediri, Dewi Sanggalangit. Perjuangan untuk memboyong Dewi Sanggalangit tidak semudah membalikkan telapak tangan, sang putri mau dijadikan istri sang prabu jika sang prabu mampu memenuhi persyaratan yang diajukannya. Ia minta kepada sang prabu agar menciptakan sebuah kesenian yang belum pernah ada sebelumnya.
Kedua, versi Ki Ageng Kutu Suryangalam. Versi ini mencereritakan pemberontakan Ki Ageng Kutu atau yang sering disebut Demang Suryangalam. Ki Ageng Kutu merupakan abdi kerajaan pada masa pemerintahan Bra Kertabumi. Ki Ageng Kutu murka akan kepemimpinan Bra Kertabumi yang dianggap sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu kuat menerima pengaruh rekan Cinanya dan dikendalikan oleh permaisurinya. Demang Suryangalam akhirnya keluar dari kerajaan dan mendirikan perguruan yang mendidik pemuda-pemuda setempat. Sebagai bentuk sindiran terhadap pemerintahan Bra Kertabumi, Ki Ageng Kutu menciptakan barongan yang terbuat dari kulit macan gembong yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan kepala singa dan permaisuri dilambangkan burung merak. Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggang kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Pagelaran Reog dijadikan Ki Ageng Kutu sebagai cara pelawanan masyarakat lokal melalui kepopuleran reog.
Ketiga, versi Batoro Katong. Batoro Katong adalah bupati pertama yang memerintah di Ponorogo. Barongan dijadikan salah satu alat untuk mengumpulkan massa dan sebagai media komunikasi yang efektif. Batoro Katong memerintahkan kepada Ki Ageng Mirah untuk membuat cerita legendaris mengenai kerajaan Bantarangin yang oleh sebagian besar masyarakat dipercaya sebagai sejarah asal-usul Reog Ponorogo. Batoro Katong memanfaatkan kesenian barongan sebagai media dakwah menyebarkan Islam di Tanah Wengker. Nama barongan kemudian dirubah menjadi reyog, yang diambil dari bahasa Arab riyoqun yang berarti khusnul khotimah.
Terlepas dari versi asal-usul reog, bagaimanakah perkembangan reog itu sendiri?
Reog mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu hingga menjadi reog seperti yang kita lihat saat ini. Perubahan-perubahan mendasar dapat kita lihat dari beberapa hal antara lain
Tulisan
Kata Reog dulunya adalah Reyog. Kata reyog yang diubah menjadi Reog dikarenakan kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan pemda menghapuskan huruf “y” dalam reyog ini memang didasarkan pada penulisan dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Depdiknas pada tahun 1983. Dalam kamus itu memang dituliskan bukan reyog tetapi reog. Belakangan penulisan reog dijadikan slogan kota oleh pemda, yang berarti resik, omber, dan girang gumirang. Padahal dalam prinsip konco reyog, terutama Embah Bikan, dan (alm) Embah Mujab dan juga yang tersirat dalam Babad Ponorogo menjelaskan bahwa reyog itu mereprsentasikan makna teologis-kultural masyarakat Ponorogo yang masih bernama Wengker waktu itu. Reyog mereka maknai (r) rasa kidung, (e) engwang sukma adilihung, (y) Yang Widhi, (o) olah kridaning Gusti, dan (g) gelar gulung kersaning Kang Moho Kuoso.
Penggantian reyog menjadi reog pada saat itu sempat menimbulkan polemik. Bupati Ponorogo yang saat itu dijabat oleh Markum Singodimejo yang mencetuskan nama reog tetap mempertahankan sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo. Peran pemerintah dalam pergeseran itu cukup signifikan, dengan berbagai instruksi bupati, wajah reog sedikit demi sedikit beribah menjadi lebih teratur dan seragam.
Pergeseran nilai makna gemblak
Bicara tentang Reog tidak bisa lepas dari istilah penari jathil, yaitu sejenis tarian yang menjadi bagian dari reog. Pada awalnya kata jathil di masyarakat diidentikkan dengan istilah gemblak. Kenapa demikian? Karena gemblak berasal dari jathil. Istilah gemblak terjadi pada zaman Demang Suryangalam. Selain menjadi demang ia juga mendirikan sebuah perguruan, para siswanya diberi ilmu kesaktian dan kebal terhadap semua senjata, merekalah yang disebut warok. Untuk menjadi warok harus menjalankan laku, syaratnya seorang warok harus bisa mengekang hawa nafsu, menahan lapar dan haus serta tidak bersentuhan dengan perempuan. Jika para calon warok ini tidak bisa mengekang hawa nafsu untuk berhubungan seksual dengan perempuan, maka lunturlah semua ilmu yang dimilikinya. Akibatnya para warok mengambil anak asuh yang disebut gemblak. Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu anak lelaki belasan tahun usia 12-15 berparas tampan dan terawatyang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayang ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang mengakar pada komunitas reog. Bagi seorang warok hal tersebut wajar dan diterima masyarakat.
Dijaman moderen ini makna gemblak sudah mulai bergeser kearah yang positif. Gemblak saat ini sudah sulit ditemui, tradisi memelihara gemblak saat ini mulai luntur. Gemblak yang dulunya biasa berperan sebagai penari jathil, kini perannya digantikan oleh remaja putrid. Pergeseran nilai gemblak membuat tari jathil semakin berkembang
Alur cerita
Pada awalnya reog tidak mempunyai alur cerita dan bentuk keseniannya menyerupai arak-arakkan, yang berhenti disetiap perempatan jalan sebagai panggungnya. Tidak ada urut-urutan cerita. Reog pada saat itu hanya untuk hobi belaka dan jauh dari komersial. Namun seiring perkembangan jaman, Reog sudah banyak mendapat sentuhan-sentuhan dari seniman-seniman reog lulusan dari sekolah seni. Mereka memberikan gerakan-gerakan yang tertata koreografisnya dan adanya estetika panggung. Disitu ada alur cerita, ada urutan siapa yang tampil lebih dahulu. Urutan yang tampil pertama adalah warok, kemudian jathil, bujangganong, Kelana Sewandana kemudian dadak merak. Jadilah format reog festival seperti saat ini.
Lalu bagaimanakah nasib Reog masa depan?
Ditengah-tengah budaya barat yang terus-terusan merasuk ke bangsa kita, sulit memang mempertahankan kesenian tradisional seperti Reog. Keberadaan reog di masa depan ditentukan generasi muda itu sendiri, bagaimana mereka mau menghargai dan sampai kapan terus melestarikannya di tengah berbagai pengaruh modernitas yang deras menyerbu. Namun pemuda lebih tertarik akan perkembangan budaya dari luar daripada harus melestarikan budaya tradisional adiluhung ini. Kalau hal ini terus dibiarkan, tidak menuntut kemungkinan kejadian pengklaiman Reog sebagai budaya milik negara lain akan terjadi lagi. Atau bahkan reog akan hilang dari bumi tempat asalnya dan tinggal namanya saja. Semua pihak harus berperan mendorong generasi penerus untuk lebih “cinta” terhadap budaya tradisional. Mulai kecil harus ditanamkan sikap untuk terus melestarikan budaya warisan leluhur ini.
dikutip dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar